Ini minggu ketiga aku ikut kelas menulis. Kok rasanya enak ya menulis terus. Jadi aku menuliskan apa yang ada di kepalaku.
Aku mau mencoba menempatkan diriku sebagai istri kedua. Kata orang, mencoba menempatkan diri di ‘sepatu’ orang lain akan membuat kita lebih berempati.
Pastinya akan banyak yang mempertanyakan kenapa mau jadi istri kedua? Apakah istri pertama tidak marah? Apakah kamu merebut istri pertama? Kenapa tidak mencari seorang yang lajang atau duda?
Belum lagi pertanyaan dari luar, mungkin aku juga akan bergelut dengan issue dalam diriku sendiri. Bagaimana penerimaan anak-anakku, keluargaku, terhadap suamiku yang juga adalah suami orang lain. Bagaimana kedudukanku di hati suamiku. Apakah aku dicintainya sepenuh hati seperti istri pertamanya? Akankah pernikahan ini bertahan? Apakah tidak akan gagal seperti pernikahan sebelumnya?
Dan sederet pertanyaan lain yang tidak mudah dijawab. Yang kubaca di beberapa literatur, istri kedua itu punya semacam perasaan inferior yang manifestasinya bisa bermacam. Ada yang menjadi lebih galak pada istri pertama, ada yang show off seolah suami lebih sayang kepada yang baru daripada yang terdahulu. Tapi ada juga yang baik yang mencoba berlapang dada dalam banyak hal. Yang sadar diri bahwa dia masuk belakangan sehingga harus mengikuti kebiasaan yang ada. Toh idealnya rumah tangga poligami itu seharusnya bersinergi, bukan berkompetisi.
Kalau aku mengandai diri jadi istri kedua, sepertinya dari awal aku akan sadar bahwa suamiku bukan sepenuhnya milikku. Aku jadi tidak bergantung pada suami, karena dia bisa pergi kapan saja. Aku harus mandiri.