Archive for ◊ 2009 ◊

22 Jan 2009 Tentang Usia Sekolah (Part II)
 |  Category: My Kids  | 2 Comments

Sekarang soal Aslam anak keduaku. Ia lahir bulan September 2005. Teringat percakapanku dengan Mas pada bulan Juli 2008 awal tahun ajaran ini. Saat umur Aslam belum lagi genap 3 tahun.

Aku      : “Aslam kita sekolahin aja ya Mas di Play Group?”

Mas     : “Loh, memangnya umurnya udah cukup?”

Aku      : “September ini udah 3 tahun sih. Gapapa deh Mas, kan untuk sosialisasi…”

Mas     : “Sosialisasi itu untuk anak yang di rumahnya ga ada temennya. Ini kan udah banyak temennya. Punya abang, punya adik, punya teman sebaya di sekitar rumah. Kalo masuk Play Group sekarang mau masuk SD umur berapa hayo…?”

Aku      : “Mmmm….kalo kuitung-itung kalo masuk PG sekarang berarti Aslam masuk SD umur 6 kurang. Kalo tetep mau masuk SD umur 7 kurang, berarti PG nya 2 tahun.”

Mas     : “Apa ga kelamaan masuk PG 2 tahun? Belum lagi TK nya nanti 2 tahun lagi. Nanti anaknya keburu bosen sekolah…”

Aku      : “PG kan isinya main aja Mas…”

Mas     : “Kalo main aja di rumah juga bisa. Di rumah juga banyak temennya. Bukan gitu Bunda, walopun PG banyak mainnya kan tetap aja yang namanya sekolah itu sifatnya formal. Anak mesti masuk di jam tertentu. Mesti ikut aturan tertentu. Sudah ada rutinitas yang harus dijalani. Kalo lagi males gimana? Sekarang apa untungnya coba masukin anak cepat-cepat. Ga usah ikutan orang lain yang masukin anak sekolah cepat-cepat. Kita kan udah punya konsep pendidikan sendiri. Apa untungnya anak lebih cepat membaca? Apa itu menjamin anak akan cinta membaca?”

Aku      : (sambil mikir, aku bisa baca umur 4 tahun, tapi kayaknya emang ga gitu cinta membaca…)

Mas     : “Masa belajar seseorang dalam hidup itu panjang. Buat apa diburu-buru.  SD aja 6 tahun. SMP 3 tahun. SMA 3 tahun. Trus kuliah lagi. Buat apa dimulai lebih awal. Puasin main selagi bisa bermain sepuasnya. Kalo sudah waktunya belajar serius ya serius. Kalo SD kan sudah serius, kasian kalo anak belum cukup umur. Apalagi sekarang SD bebannya tambah berat. Masuk SD udah mesti pinter baca.”

*Mungkin istilah Betawinya: lu kagak bakalan abis dah, makan bangku sekolahan seumur-umur*

Aku      : “Kan ada golden age Mas, sejak lahir sampe umur 3 tahun…?”

Mas     : “Iya, tapi kan yang namanya belajar itu ga mesti di sekolah. Bunda bacain cerita itu belajar, dia liat lingkungan sekitar itu belajar, main itu belajar. Mama kan guru SD  (ibu mertuaku Kepsek SD sekarang, dulunya masih guru), tapi Mas dulu dimasukin sekolah umur 7. Biar mateng katanya. Kalo umur kurang, mungkin aja sih secara akademis dia bisa ngikutin kalo anaknya cerdas, tapi secara mental dia belum matang. Belum lagi soal pergaulan, anak kan biasanya suka main dengan yang umurnya sebaya, kalo yang keliatan masih kecil suka dianggap ‘anak bawang’.”

Aku      : manggut-manggut aje, udah bingung mo ngomong ape.

Mas     : “Terus kalo anak itu kurang bisa menguasai pelajaran, bisa jadi dia merasa minder karena merasa bodoh,  padahal itu bukan kesalahan dia. Bisa jadi dia memang ga bisa karena memang belum waktunya untuk bisa, dia belum cukup umur untuk itu.

Yang sekolah kan anak-anak. Bukan kita. Jangan nurutin ego sebagai orang tua. Takut ketinggalan sama yang lain karena udah pada sekolahin anaknya.”

Aku      : “Iya Mas, kan sampe ada banyak tuh kelas toddler. Anak umur 1 tahun udah mulai sekolah.”

Mas     : “Ooo…Mas pribadi ga setuju kalo yang kayak gitu. Terserah orang kayak gimana.”

Aku      : “Mungkin itu untuk yang orang tuanya dua-duanya kerja ya, daripada anak di rumah sama pembantu aja…”

Mas     : “Kalo anak masuk sekolah usia matang, dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik, dewasa sesuai umurnya, udah punya rasa tanggung jawab. Perasaan ‘aku bisa’ itu bisa memupuk rasa percaya diri anak. Beneran loh Bunda, Mas ga mau sekolahin sekarang bukannya  karena ga mau keluar uang pendaftaran, tapi karena Mas merasa memang belum waktunya.”

Aku: (nyerah deh, gak bisa ngomong apa-apa lagi)

Lagipun ternyata, setelah aku iseng bertanya pada Aslam sendiri. “Aslam, udah mau sekolah belum?”

Jawabnya: “Sekolahnya nanti ajah!”

Deuu…kompakan nih anak sama ayahnya. Berarti emaknya ya yang kegatelan mau sekolahin anak buru-buru. Jadi gapapa ya Nak, Aslam masuk PG umur 3  tahun 10 bulan.

22 Jan 2009 Tentang Usia Sekolah (Part I)
 |  Category: My Kids  | One Comment

Kapan usia tepat anak mulai sekolah? Aku tak akan menulis tentang segala teori pendidikan yang rumit, yang jujur saja, memang tak begitu kukuasai. Hanya ingin menulis berdasarkan pengalaman yang kualami dan amati sendiri.

Anak pertamaku Alfath mulai menjajal sekolah ketika usianya 2,5 tahun. Kebetulan ada sebuah Play Group kecil yang baru berdiri tak jauh dari rumah kami. Mungkin karena baru, uang pendaftarannya pun teramat murah. Hanya 10 ribu kalau tak salah. Dan dengan iuran 15 ribu untuk 3 kali jadwal masuk seminggu.

Awal masuk anakku tampak tak terlalu antusias. Setelah beberapa kali masuk pun tampaknya dia belum terlalu berbaur dengan teman sebayanya. Kalau anak-anak yang lain bisa dengan tertib mengikuti gerakan senam sebelum jam masuk kelas dimulai, ia lebih memilih main papan seluncur mini yang ada di sekolah. Tidak, ia bukannya tak mengerti apa suruhan, perintah dan omongan gurunya. Ia anak yang cerdas. Lancar berbicara apa saja ketika berumur 20 bulan dan dengan sukses membuatku terharu kala dengan setengah berteriak mengatakan: “I love you, Bunda….” seraya melambaikan tangan padaku yang akan berangkat mengajar. Waktu itu umurnya sekitar 27 bulan.

Seingatku ia kerapkali merasa terpaksa tiap kali sekolah. Tentu saja ini tak bisa dipukul rata. Karena dari beberapa cerita orang tua ada juga anak mereka yang bahkan menanyakan kapan harus sekolah lagi ketika hari libur tiba. Kurasa anakku tidak termasuk tipe yang itu.

Puncaknya adalah setelah libur agak panjang setelah Hari Raya Idul Fithri. Anakku tambah enggan dan mogok sekolah. Ia suka ngambek tanpa alasan yang jelas. Kertas tugas yang disodorkan Bu Guru dikuwel-kuwel dan dicampakkannya dengan kasar.

Akhirnya aku dan ayahnya memutuskan untuk tidak memaksanya sekolah lagi. Pun tak lama kemudian, kami memang akan pindah rumah.

Di rumah baru selalu kutanya: “Alfath, mau sekolah lagi, nggak?” Yang selalu dijawabnya dengan ‘tidak’.

Umur 4 kurang sedikit ia kudaftarkan ke TPA di masjid komplek perumahan. Kebetulan ada anak tetangga yang lebih dulu masuk. Ada cerita sedikit mengenai anak tetangga ini. Ia lebih kecil dari Alfath. Selisih 2 tahun kira-kira. Mulai mengaji TPA ketika usianya 2,5 kurang. Yang aku tahu kemudian adalah anak ini setelah sekian bulan tak beranjak dari Iqro’ 1 halaman 2. Hampir seluruh catatan di kartu prestasi mengajinya tertulis ‘ULANG’. Mengapa demikian? Karena tiap mengaji ia belum bisa konsentrasi dan selalu tengok kiri kanan. Apakah anak ini bodoh? Kurasa gadis kecil itu tidak bodoh. Hanya umurnya saja belum memungkinnya untuk bisa berkonsentrasi mengaji dengan tekun. Rentang perhatiannya masih pendek.

Awal mengaji memang Alfath berteriak-teriak dan menangis histeris. Mungkin ia belum terbiasa dan belum merasa aman dan nyaman dengan lingkungan barunya. Tapi tak lama perkembangannya terlihat nyata. Maju sedikit demi sedikit dengan meyakinkan. Pelan tapi pasti.

Usia 4,5 kami daftarkan di TK Islam dekat rumah untuk tingkat TK A. Sekolahnya ini punya kebijakan ketat berkenaan kehadiran orang tua menemani anak di sekolah. Anak hanya boleh didampingi orang tua paling lama 1 minggu dalam masa adaptasi. Hari pertama tentu saja hampir semua orangtua menemani anaknya sampai kelas usai. Hari kedua orangtua sudah diminta pulang atau menunggu di luar sekolah. Kebetulan sekolahnya menempati lahan yang sempit dan terbatas. Hanya seukuran rumah.

Anakku termasuk yang merasa berat berpisah dengan ibunya dan menuntut agar aku selalu tampak di matanya. Ia menjerit hebat -dan parahnya disertai dengan mengata-ngatai guru- kala aku ‘dipaksa’ atau diminta dengan sangat oleh Bu Guru untuk menunggu di luar sekolah. “Biar saja Bu, biar kami yang tangani. Sudah biasa anak begini. Masa penyesuaian. Harus dididik untuk berani.” Demikian kira-kira ucapan Bu Guru. Memang benar. Tak lama ia jadi berani dan telah merasa nyaman dengan kelas dan teman-temannya.

Prestasi belajarnya termasuk papan tengah. Di sekolah ini, untuk tingkatan TK A belum diajari tulis baca, hanya sekedar pengenalan huruf. Persis seperti yang kami inginkan. Sekolah yang tidak memburu-buru anak dengan calistung. Karena toh, masih ada kesempatan lagi untuk belajar membaca di TK B.

Sayangnya, setelah satu semester dijalani, kami harus pindah rumah lagi mengikuti kepindahan tugas ayahnya ke Surabaya. Lagi-lagi Alfath kami daftarkan ke TK di sekitar rumah saja. Dibanding sekolah lama, rasanya TK yang ini kunilai lebih santai. Hampir tiap minggu ada jam pelajaran yang terpotong karena ada perayaan ulang tahun anak-anak di sekolah. Rasanya sudah tradisi anak-anak merayakan ulang tahun di sekolah. Meskipun acaranya biasanya hanya untuk teman sekelas. Dalam hal hafalan doa-doa dan surat-surat pendek, sekolah ini agak jauh tertinggal dibanding sekolah Alfath yang lama. Tapi ternyata, walau tampak santai, banyak juga pelajaran yang didapat di sekolah ini. Ini kuketahui setelah pada waktu pembagian ijazah dibagikan buku tugas yang selama ini dikerjakan di sekolah.

Up to this point, ketika lulus TK, Alfath sudah bisa membaca walaupun belum lancar benar. Ia masuk SD usia 6,5 tahun. Umur yang cukup matang dan pas untuk duduk di Sekolah Dasar. Ini terbukti kurasakan benar pada anakku. Tak lama, ia dapat membaca dengan lancar. Hampir tidak mengalami kesuliatan berarti dalam tiap mata pelajaran. Aku pun tidak begitu susah payah mengajarinya. Terakhir, ini yang memicuku untuk menulis ini, nilainya cemerlang dalam Ujian Akhir Semester Ganjil. Minimal dapat 88, yang lain di atas 90. Padahal aku merasa hanya menemaninya belajar seadanya saja. He’s far beyond my expectation. Alhamdulillah…