Archive for the Category ◊ Refleksi ◊

24 Nov 2018 Meracau
 |  Category: My Self, Refleksi, Uncategorized  | Leave a Comment

Pengen curhat random ke Allah malam ini.
Hati bercakap berjuta rasa dan bahasa malam ini.
Tapi rasa yang terasa hanya haru dan haru.
Speechless. Tak mampu berkata-kata.

Berpikir tentang sholatku yang seringnya hanya 5 waktu yang wajib saja. Dhuha banyak bolong. Tahajjud apalagi. Selalu kalah dengan kemalasan dan rasa kantuk. Yang 5 waktu itu saja banyak salah dan kurangnya. Jauh dari khusyu’, sering lupa rokaat, pikiran melantur kemana-mana, dikerjakan di waktu yang molor.

Berpikir tentang ghill yang susah dihilangkan dari hati. Ga usah disebutin, membuka aib diri sendiri. Cukup diriku dan Allah yang tau.

Berpikir tentang suka kurang baktinya ke suami, ke orang tua, ke mertua. Kurang ‘rasa melayani dan mengayomi’nya ke anak. Kurang perhatiannya ke teman dan sodara.

Berpikir tentang pemuasan hasrat keduniawian. Tentang liburan. Tentang makanan. Tentang pakaian. Tentang perhiasan. Tentang barang-barang.

Belakangan suka ngerasa hidup manusia itu sebentar banget ya sebenernya. Seperti baru kemarin momong Alfath bayi, eh tahun depan dia udah kuliah. Udah punya KTP.

Haduuh sedih deh kalo inget belum punya bekal apa-apa di akhirat. Cuma berharap kasih sayang dan pengampunan Allah aja.

Inget kata-kata Mursyid kemarin dulu. Di akhirat nanti, di hari yang berat kelak, saat meniti Shirothol Mustaqiim, permohonan hamba cuma: “sallimniy….sallimniy…”
Ya Allah selamatkan aku…selamatkan aku…

Duh😥😢😭

Pantes Allah negur

‘wa tadhhakuuna wa laa tabkuun?’

‘dan kenapa kalian tertawa saja dan tidak menangis?’

Duh😥😢😭

Bukannya anti politik dan tidak peduli pada lingkungan sekitar, tapi males ah nyimak obrolan tentang genderuwo, sontoloyo dan boyolali yang bising di tipi.

Bagi Allah apa yang kita nyatakan dan sembunyikan dalam hati sama saja. Terang semua bagi Dia. Jadi harusnya diri ini malu kalo punya pikiran jahat ke orang. Malu kalo ada rasa iri dengki. Malu kalo punya angan-angan panjang yang ga ada ujungnya.

Duh😥😢😭

Udah ah sampai sini aja sesi meracau malam ini. Si Bayi nangis….

16 Oct 2018 Tuhan (29)
 |  Category: Refleksi  | Leave a Comment

Ibadah hati itu teramat sulit. Bagaimana berusaha menghubungkan hati senantiasa pada Allah. Secara lahiriah mungkin saja kita terlihat tak berbuat dosa tapi di dalam hati bergejolak semua rasa dan keinginan yang tak patut. Melihat seseorang lalu otomatis muncul penilaian-penilaian. Merasa diri lebih baik, merasa sombong dan merendahkan orang. Menempatkan diri dalam peringkat-peringkat seolah tahu nilai diri sendiri sebenarnya. Duh, Tuhan…padahal hanya Engkaulah hakim yang paling adil. Duh, Tuhan…pantas saja Kau murka sarung kesombongan-Mu dipakai oleh hamba-Mu yang tak punya apapun walau setipis kulit ari.
Ya Allah, kesadaranku hanya kesadaran sekejap-sekejap. Sedikit sadar lalu banyak sekali lalai. Dilenakan oleh hiruk pikuk dunia dan segala urusan ragawi. Tak punya amal, lalu apa yang bisa kubawa saat kembali pada-Mu. Hanya rasa takut dan harap pada-Mu semata. Yang kubawa dalam kesadaran yang sekejap-sekejap.

12 May 2016 Doa Musa
 |  Category: My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Aku ingin berdoa seperti Musa.

“Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.

“Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.

“Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.

“Robbiy inniy limaa anzalta ilayya min khoirin faqiir”

20 May 2015 Tuhan (8)
 |  Category: My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Rabu, 20 Mei 2015, 22.50

Melihat dunia dengan keunikan diri sendiri. Aku ingin menjadi penyuara bagi suara hatiku sendiri. Mungkin dengan begitu benih jiwaku bisa tumbuh subur bersemi. Allah tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Pasti ada satu titik di semesta ini yang tersedia hanya untukku dan untukku saja.

Ingin menemukan seutas benang pengikat antara aku dan Dia. Tali pengikat yang dipegang dalang di atas ubun-ubun wayangnya. Aku milik-Mu walau gerak-kata-laguku kacau. Sesekali aku menengadah ke langit mencari jawaban. Walau lebih seringnya aku jatuh tersungkur terjerembab di atas tanah asal penciptaanku.

Tuhan…tolonglah diriku…letakkan aku di suatu sudut sepi tempat kubercakap pada-Mu. Mengadukan pada-Mu tentang diriku yang selalu salah dan selalu jatuh.

26 Apr 2013 The Grocer and The Parrot
 |  Category: Refleksi, Serba-serbi  | One Comment

Just another random thought. Orang suka melihat/ menilai/ mengukur sesuatu berdasarkan keadaan dirinya atau berdasarkan apa yang menjadi interest-nya. Misalnya kalau aku sedang hamil, maka sepertinya sering sekali ketemu perempuan yang tengah hamil. Kalau punya mobil merk X, maka yang jadi sering nampak kelihatan di jalan adalah mobil merk X.

Dulu waktu masih anak-anak suka mikir: “Apa ada yang mau beli roti semahal itu?”, waktu lihat Sari Roti seharga beberapa ribuan, karena waktu itu aku cuma mampu beli roti coklat harga gopek di warung. Tapi ketika keadaan ekonomi sudah lebih mampu, ukuran mahal menjadi berbeda. Kalau sekarang ini masih tak habis pikir, kok ada ya orang yang mau beli tas seharga puluhan juta, apa ga merasa sayang. Mungkin bagi mereka uang puluhan juta sudah seperti recehan saja.

Apa yang menjadi interest kita tampaknya itu yang akan jadi semesta kita. Hal lain sekedar perkara tambahan. Misalnya suatu kali ada teman menulis suatu status tentang ‘ibu rumah tangga’, pasti yang punya interest soal ‘ibu rumah tangga’ akan langsung menaruh perhatian pada status itu. Atau tentang ‘clodi’ atau tentang ‘blogging’, pasti yang punya interest akan langsung berdiri kupingnya saat membaca atau mendengar tentang kata itu. Dan pasti Anda takkan mengerti maksud kata ‘status’ di atas berarti apa kalau Anda tak kenal sama sekali dengan yang namanya facebook.

Ada sebuah cerita dari Matsnawi Jalaluddin Rumi yang kutulis kembali secara bebas saja. Ada seorang pedagang yang mempunyai seekor kakatua yang amat pandai bicara. Keberadaan Kakatua ini amat menghibur pembeli dan pengunjung toko. Suatu kali Sang Pedagang pergi keluar untuk suatu keperluan. Si Kakatua ini terbang ke sekeliling toko dan tanpa sengaja memecahkan sebotol besar minyak mawar. Minyak mawar pun bercipratan kemana-mana dan keadaan toko jadi berantakan. Sekembalinya ke toko, Si Pedagang menjadi marah dan tanpa sengaja memukul kepala Kakatua peliharaannya. Kakatua itu menjadi sedih dan amat kecewa. Ia langsung mogok bicara dan tak lama kemudian bulu-bulunya yang indah pun mulai berguguran. Burung itu menjadi botak.

Sadar akan kekeliruannya, Si Pedagang amat menyesali dirinya. Dia berbuat baik kepada orang miskin dengan harapan agar kebaikannya dapat menarik Kakatua itu supaya bisa berbicara kembali. Tapi ternyata nihil, tak sepatah kata pun keluar darinya. Tiga hari tiga malam burung itu diam membisu. Sampai tiba-tiba, ada seorang bikhsu masuk ke dalam ke tokonya. Tiba-tiba saja Kakatua itu berteriak dengan antusias: “Hai Botak, lihat aku! Kamu menumpahkan minyak mawar juga ya?”

Spontan pengunjung toko lainnya tertawa mendengar celoteh Si Kakatua. Rupanya ia menyangka Sang Bikhsu yang botak karena alasan keagamaan, menjadi botak karena menumpahkan minyak mawar juga seperti dirinya.

Nah kan, Si Kakatua telah menilai Sang Bikhsu dengan ukuran dirinya…

PS: Bingung ngasih judul apa, jadi nyontek judul di buku Rumi aja

Serangoon, April 26, 2013, around 2.30 AM.