Archive for the Category ◊ My Husband ◊

27 Jun 2010 Teman Hidup
 |  Category: My Husband  | 6 Comments

Saat aku menulis ini, teman hidupku tengah beratus kilometer jaraknya. Mengemban tugas mulia yang diamanahkan di pundaknya. Kami berkembang dan mengejar mimpi bersama. Membesarkan anak-anak sebaik yang kami mampu. Mengasihi mereka dengan segenap kasih yang kami punya. Memberi kenangan indah bermakna dalam lembaran album kehidupan mereka.

Agak sulit membayangkan bagaimana hidup sendiri tanpa separuh nyawaku. Sunyi. Sendiri. Sepi. Bagai dunia kehilangan separo warna cerianya.

Padamu Sayang, kuabdikan diriku utuh.

09 Dec 2009 God Bless You, My Dear …
 |  Category: My Husband, My Marriage  | Leave a Comment

Tepat pukul 1 dinihari saat aku menulis catatan ini. Badan lumayan segar, setelah tidur selama beberapa jam tadi. Mumpung ada ide, tak apalah bilasan kutinggal sebentar. Sebelum idenya mabur entah ke mana.

Sebelum Maghrib tadi aku menelpon Mas. Berharap ia tak berlama-lama di kantor karena badanku tak kuat lagi. Lelah. Akumulasi dari kekurangan tidur sejak kemarin. Nuri bangun tiap ditaro tapi tertidur pulas bila digendong. Barusan menangis kejer saat kutinggal Ashar sebentar saja. Ashar di penghujung waktu. Telfonku tak terjawab. Ternyata semenit kemudian mobilnya tiba di depan pagar.

Aku langsung ‘menyerahterimakan’ Nuri ke gendongannya. Baru teringat bahwa aku belum makan. Padahal tangki perlu diisi karena aku harus memberi ASI.. Sambil memaksa mata terus terbuka, aku menyuapi anak-anak makan malam setelah sebelumnya agak memaksa mereka bangun. Jadwal tidur mereka kacau karena susah menyuruh mereka untuk tidur siang. Akhirnya mereka tidur sore karena kelelahan.

Sekitar setengah tujuh aku pergi ke pulau kasur. Toh, ada bapaknya anak-anak yang bersedia stand-by. Jam sembilan aku baru bangun. Mata masih terbuka setengah. Belum poll rasanya. Tapi aku tahu Mas sudah kelelahan. Nuri ditaro dan langsung beranjak ke atas ke ruang kerjanya. Jam dinasnya usai. Sekarang giliranku. Sudah waktunya aku bangun. Sebenarnya kasihan juga dia. Setelah lelah di kantor seharian, pulang-pulang masih harus menjalankan ‘peran domestik’. Tapi kan memang seharusnya begitu. Saling bahu-membahu satu sama lain. Lantas aku menambah tidur 1 jam lagi sebelum benar-benar merasa segar, sambil mengeloni Nuri yang tertidur di sampingku.

Berputar-putar saja ceritaku. Sebenarnya yang ingin aku tekankan adalah, aku bersyukur punya suami yang begitu baik yang bersedia ringan tangan membantu tugas istrinya. Tak peduli sehebat apapun jabatan seorang lelaki di luar sana, ia haruslah dinilai dari bagaimana cara ia memperlakukan keluarganya. Istri dan anak-anaknya. Banyak lelaki yang kelihatannya hebat, tapi tak tahu bagaimana cara mengenakkan istrinya. Boro-boro membantu, memuji saja irit. Lebih parah lagi yang mentally abusive, menggerogoti mental istri dengan celaan dan cemoohan yang menjatuhkan harga diri. Mungkin suami macam itu lupa betapa beratnya tugas sebagai seorang istri sekaligus ibu. Bukannya membantu, justru membebani pikiran dan perasaannya. Ini bukan soal KDRT. Sudah parah kalau suami memperlakukan istri kasar secara fisik.

Alhamdulillah, beratnya tugasku diperingan oleh kesediaan suamiku untuk membantu.
Kata Nabi SAW: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”

God bless you, Mas…

Saturday, November 21, 2009, 01.00

19 Jun 2009 “Ah, Masku Tersayang…”
 |  Category: My Husband  | 3 Comments

“Pernah berantem ga selama menikah?” Pertanyaan ini sering sekali mampir di telingaku. Mungkin dikarenakan di antara teman-teman seangkatan aku termasuk yang paling dulu menikah, jadi mereka ingin belajar dengan menggali dari pengalamanku.

Dan selalu kujawab: “Pernah, tapi sangat jarang sekali.” Dan memang demikian adanya. Berantem yang agak besar pernah terjadi waktu kami baru-baru menikah dulu. Tak banyak. Mungkin hanya sehitungan sebelah jari tangan. Namanya saja berumah tangga. Sekali dua kali pasti ada toh saat suami istri tidak cocok dan berselisih paham. Dan kurasa itu memang perlu. Agar masing-masing pihak bisa lebih mengerti, memahami dan mendalami satu sama lain. Membongkar sifat dan tabiat jelek dari masing-masing dengan berkaca pada cermin pasangan yang jujur menampakkan apa adanya kita.

Dan sejauh delapan tahun lebih kebersamaan kami, tentu saja aku banyak belajar. Tidak, jangan anggap aku sebagai orang yang super sabar yang mampu menahan amarah dalam setiap situasi dan kondisi. Atau orang yang mampu menelan kemarahan dan menahan kekesalanku saat berhadapan dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Tidak. Belum. Sayangnya aku belum sampai pada tahap itu dan masih harus banyak belajar.

Jujur saja, alasan kenapa kami jarang sekali berselisih adalah terutama karena suamiku yang amat pandai sekali menahan emosi. As many people know, dia punya kecerdasan emosional yang tinggi. There goes saying: “Takes two to tango” Benar bukan? Always takes two to start a fight.

Aku sungguh masih punya banyak sekali sifat keras kepala dalam diriku. And he knew that pretty well. Aku bukan tipe istri yang selalu “iya Mas” saat dia memberitahu dalam hal apapun. Selalu ada: “Tapi kan, begini….” Atau: “Gini juga bisa…” And I guess, dia sudah bisa menerima diriku yang begini ini sebagai nasib, yang berusaha dia ubah secara perlahan dengan cara yang halus.

He knows pretty well how to treat me. This is just a simple example. Kalau misalnya dia ingin dibuatkan teh saat tengah malam masih sibuk bekerja, dia tidak memintaku dengan ‘direct order’ yang pastinya akan terasa berat bagiku. Dia membahasakannya dengan sangat santun. “Bunda, cape nggak? Mas mau teh manis donk…” Duh, duh, istri mana yang bisa menolak diminta demikian.

Pernah suatu kali aku marah-marah padanya lewat SMS, waktu itu seingatku ia sedang pergi ke Jakarta selama 2 hari: “Mas, telfon kok ga bisa keluar, Mas lupa bayar tagihan ya? Mana internet ga bisa lagi. HPku mati baterenya abis, chargernya Mas bawa lagi. Gimana sih?”
Dan lucunya, respon balasan dia singkat saja: “Jangan mengeluh.”
Aku jadi geli membacanya (tentu setelah hati agak mendingin). Tapi bukan Nurul kan kalo tidak memberi respon balasan. “Iya, tapi kalo ada emergency gimana…” Dasar…dasar…istri berbudi yang pintar menjawab.

Dalam hal menghadapi anak juga Beliau sering menasehatiku dan memberi masukan. Tentang ini, insya Allah akan kutulis dalam posting terpisah lain kali.

Thank you for all, Honey…God bless you…

Written: Friday, June 19, 2009, 10.20

30 Mar 2009 Catatan Pertama setelah Pernikahan
 |  Category: My Husband, My Marriage  | 5 Comments

Hari ini genap 8 tahun kebersamaan kami. Sebagai sebuah perayaan kecil, kuposting catatan harian yang kubuat tak lama setelah pernikahan kami. Semoga dapat menjadi pengingat yang manis dalam kehidupan pernikahan kami.

03 Mei 2001

Ini tulisan pertama sejak pernikahan kami.
Duhai Robbi, rupanya beginilah akhir lika-liku itu.
Nasibku bertaut dengan nasibnya. Sedihku kini jadi sedihnya juga. Sedihnya kini, harus kutanggung juga. Gembiraku, gembiranya. Dan gembiranya pasti jadi gembiraku juga.

Hari-hariku kini penuh aktivitas baru. Capek iya, tapi senang juga iya. Kucoba mencari keikhlasan di sana. Tapi susah sekali, ya Allah. Karena bukan perkara kecil untuk terus-menerus berada pada kesadaran. Kesadaran tentang-Mu semata.

Berat ya Allah, untuk senantiasa bisa berlapang dada di keseharian, untuk bisa menerima dengan ridho segala sesuatu yang tak sesuai dengan harapan, untuk senantiasa punya kata maaf sebesar apapun kesalahannya…

Aku menyayanginya ya Allah. Aku mencintainya. Dan kata orang cinta adalah modal besar untuk berjalan bersama.

Pertautan nasib kami adalah karena kehendak-Mu semata ya Allah. Terimalah apa yang baik dari kami dan ampunilah segala yang salah dan lalai dari kami. Hisablah kami dengan Kemurahan-Mu, jangan Kau hisab kami dengan Keadilan-Mu. Izinkan kami berjalan di atas jalan-Mu yang lurus.

Wednesday, March 11, 2009 at 12:23pm

30 Mar 2009 A Tiny Little Thing About Us
 |  Category: My Husband, My Marriage  | Leave a Comment

It’s two o’clock in the morning when we begin this conversation.

” Besok Mas ada presentasi.”

” Udah siap bahannya belum”? Tanyaku.

” Belum. Tapi outline yang mau Mas omongin udah ada di kepala.”

” Mas bisa tenang ya kalo soal yang beginian…?”

” Iya, ketenangan itu penting loh Bunda biar ga ngalamin yang namanya pembajakan emosi.”

And so on, lantas dia bercerita tentang sedikit masalah psikologi, memberi tips bagaimana memaknai proses belajar agar selalu teringat, diselingi becanda ringan menertawakan kebodohanku masa silam. Saat dia mereview aku segera setelah belajar PSAK. ” Jadi judulnya apa yang tadi dipelajari? ” Dan aku hanya melongo tak dapat mengingat judul bab yang tiga baris panjangnya itu. “Judulnya aja lupa apalagi isinya ya?” Hahaha, sindiran yang dalam, tapi toh aku tak tersinggung. Malah menertawakan cerita masa lalu itu bersama-sama. Ditambah sweet little gestures aku menendang kakinya mesra.

Obrolan berlanjut diselingi nasehatnya tentang bagaimana cara dan waktu yang tepat memarahi anak. Menyinggung soal kejadian yang beberapa jam sebelumnya terjadi saat aku ‘memarahi’ Halim yang memainkan kunci rumah hingga terselip entah di mana. Mengajariku untuk memisahkan kemarahan sesuai dengan kadar kesalahannya. Sesuatu yang bila ia lakukan saat kejadian itu baru berlangsung pasti akan kutolak karena hati masih panas. Dia mengajariku dengan cara dan timing yang pas sesuai pembawaanku.

Dia menasehati, tapi aku tak merasa dinasehati.

Dia mengajari, tapi aku tak merasa digurui.

I love the tiny little thing that happen between us…

Wednesday, February 25, 2009 at 4:45pm