Archive for the Category ◊ Serba-serbi ◊

26 Apr 2013 The Grocer and The Parrot
 |  Category: Refleksi, Serba-serbi  | One Comment

Just another random thought. Orang suka melihat/ menilai/ mengukur sesuatu berdasarkan keadaan dirinya atau berdasarkan apa yang menjadi interest-nya. Misalnya kalau aku sedang hamil, maka sepertinya sering sekali ketemu perempuan yang tengah hamil. Kalau punya mobil merk X, maka yang jadi sering nampak kelihatan di jalan adalah mobil merk X.

Dulu waktu masih anak-anak suka mikir: “Apa ada yang mau beli roti semahal itu?”, waktu lihat Sari Roti seharga beberapa ribuan, karena waktu itu aku cuma mampu beli roti coklat harga gopek di warung. Tapi ketika keadaan ekonomi sudah lebih mampu, ukuran mahal menjadi berbeda. Kalau sekarang ini masih tak habis pikir, kok ada ya orang yang mau beli tas seharga puluhan juta, apa ga merasa sayang. Mungkin bagi mereka uang puluhan juta sudah seperti recehan saja.

Apa yang menjadi interest kita tampaknya itu yang akan jadi semesta kita. Hal lain sekedar perkara tambahan. Misalnya suatu kali ada teman menulis suatu status tentang ‘ibu rumah tangga’, pasti yang punya interest soal ‘ibu rumah tangga’ akan langsung menaruh perhatian pada status itu. Atau tentang ‘clodi’ atau tentang ‘blogging’, pasti yang punya interest akan langsung berdiri kupingnya saat membaca atau mendengar tentang kata itu. Dan pasti Anda takkan mengerti maksud kata ‘status’ di atas berarti apa kalau Anda tak kenal sama sekali dengan yang namanya facebook.

Ada sebuah cerita dari Matsnawi Jalaluddin Rumi yang kutulis kembali secara bebas saja. Ada seorang pedagang yang mempunyai seekor kakatua yang amat pandai bicara. Keberadaan Kakatua ini amat menghibur pembeli dan pengunjung toko. Suatu kali Sang Pedagang pergi keluar untuk suatu keperluan. Si Kakatua ini terbang ke sekeliling toko dan tanpa sengaja memecahkan sebotol besar minyak mawar. Minyak mawar pun bercipratan kemana-mana dan keadaan toko jadi berantakan. Sekembalinya ke toko, Si Pedagang menjadi marah dan tanpa sengaja memukul kepala Kakatua peliharaannya. Kakatua itu menjadi sedih dan amat kecewa. Ia langsung mogok bicara dan tak lama kemudian bulu-bulunya yang indah pun mulai berguguran. Burung itu menjadi botak.

Sadar akan kekeliruannya, Si Pedagang amat menyesali dirinya. Dia berbuat baik kepada orang miskin dengan harapan agar kebaikannya dapat menarik Kakatua itu supaya bisa berbicara kembali. Tapi ternyata nihil, tak sepatah kata pun keluar darinya. Tiga hari tiga malam burung itu diam membisu. Sampai tiba-tiba, ada seorang bikhsu masuk ke dalam ke tokonya. Tiba-tiba saja Kakatua itu berteriak dengan antusias: “Hai Botak, lihat aku! Kamu menumpahkan minyak mawar juga ya?”

Spontan pengunjung toko lainnya tertawa mendengar celoteh Si Kakatua. Rupanya ia menyangka Sang Bikhsu yang botak karena alasan keagamaan, menjadi botak karena menumpahkan minyak mawar juga seperti dirinya.

Nah kan, Si Kakatua telah menilai Sang Bikhsu dengan ukuran dirinya…

PS: Bingung ngasih judul apa, jadi nyontek judul di buku Rumi aja

Serangoon, April 26, 2013, around 2.30 AM.

14 Jan 2010 Masalahku adalah Jalan Rejeki Bagi Orang Lain
 |  Category: My Self, Refleksi, Serba-serbi  | Leave a Comment

Sabtu minggu lalu, mesin cuci kami rusak. Penyebabnya sepele saja. Paginya aku mencuci keset biru tebal berserabut. Karena sekarang musim penghujan, maka menurut perkiraanku keset tebal itu akan lama kering bila dicuci manual saja tanpa pengering. Ternyata tanpa disangka, kerontokan serabutnya sangat parah. Terbukti dari air bilasan penuh bulu yang keluar. Benar saja, setelah mesin berhenti ternyata air masih menggenang di dalam. Pasti ada saluran yang mampat. Siang itu, kami memanggil tukang servis langganan yang sudah kami percaya. Bapak ini tampaknya penjual jasa yang jujur. Tidak mengatakan rusak apa-apa yang memang tidak rusak. Karena ada sebagian teknisi yang nakal, ‘memanfaatkan’ ketidakmengertian customer soal mesin dengan menggonta ganti spare part yang sebenarnya tidak perlu diganti.

Aku jadi berpikir, betapa sempurnanya Allah mengatur pembagian rejeki makhluk-Nya. Jalannya sangat bermacam dan berliku. Siapa yang menggerakkan hatiku untuk mencuci keset pagi itu kalau bukan Allah?
Instead of ngomel karena rusaknya mesin merepotkan kerjaku, aku mencoba melihat dari perspektif lain bahwa itu adalah jalan rejeki bagi orang lain. Sejumlah uang mungkin tak seberapa artinya bagi kita, tapi bisa jadi itu adalah uang makan beberapa hari bagi orang lain.

Maka kini aku belajar untuk tidak mengeluh. Bila suatu saat kacamataku bengkok karena dimainkan anak-anak. Bila suatu saat sendalku putus di tengah jalan. Bila rumput di halamanku tumbuh sangat subur dalam waktu cepat. Bila suatu saat hariku kacau dan aku butuh bantuan orang lain. Aku harus selalu ingat bahwa masalahku adalah jalan rejeki bagi orang lain.

Sunday, January 3, 2010, 17.45

27 Dec 2009 Alirkan Apa Yang Kau Punya
 |  Category: My Self, Serba-serbi  | 2 Comments

Aku sedang berusaha mencermati bisikan-bisikan yang datang ketika ingin sedikit berbagi pada orang lain. Setan seperti tak pernah rela kita berbuat secuil kebajikan. Seolah ada 1001 alasan yang membenarkan/meligitimasi kita untuk urung melaksanakan niat baik itu.

Berikut contoh-contoh dalil setan yang terdengar jelas membisik di hatiku:

•“Jangan kasih yang itu, itu masih bagus” –> Akhirnya kita jadi hanya memberi suatu barang yang kita sendiri pun memicingkan mata padanya (ayatnya di Qur’an surat berapa ya? Ada yang mau melengkapi)

•“Jangan kasih itu, kamu mungkin membutuhkannya sewaktu-waktu –> Padahal barang itu sudah mengonggok lama di lemari, diingat pun tidak, tapi begitu mau diberikan ke orang, kok sepertinya sayang ya…(Hmm…dahsyat bener bisikan setan).

•“Jangan kasih yang itu, harganya mahal loh…” –> Akhirnya kita cuma rela ngasih barang yang murahan.

•“Ngasih segitu kebanyakan, segini aja juga sudah cukup…” –> Akhirnya kita jadi ngasih secuil, padahal punya seabrek.

•“Kamu sendiri masih kekurangan, kok sok-sok belagu ngasih orang lain” –> Kalo nunggu sampe kaya banget, lantas kapan mau berbagi sama orang lain? Padahal sekaya apapun, bisikan itu pasti akan selalu datang.

•“Jangan ngasih terus-terusan, ntar jadi manja dan ngandelin loh” –> Padahal itu urusan dan tanggung jawab orang yang bersangkutan. Urusan kita hanya semata dengan Allah. {(Bagaimana dengan para pengemis yang terorganisir dan seperti memanfaatkan kebaikan kita? Kalo ngomongin ini jadi panjang, soal ini dikecualikan dulu ya). Tapi aku percaya bahwa memang ada ‘ilmu memberi’: (bagaimana memberi yang tepat sasaran, memberi kail dan bukan ikan, tidak memberi dengan alasan mendidik, etc). Lagi-lagi karena takut terlalu panjang dan melebar, tentang ini sebaiknya dikecualikan dulu}

•Atau malah sebaliknya. Bisikan itu mengencourage untuk memberi banyak dengan niat ingin dipuji, riya, bangga diri. Wadow…susah bener ya jadi orang ikhlas.

Padahal kita telah diajari bahwa:

•Allah sebaik-baik Pemberi Rezeki, yang menanggung rezeki semua makhluk-Nya.

•Allah sebaik-baik Pemberi Ganjaran, yang membalas kebaikan hamba-Nya dengan berkali-kali lipat banyaknya.

•Apa yang di Sisi Allah itu akan kekal, sementara apa yang ada di tangan kita akan rusak binasa.

Tips of the day: lawan segala bisikan itu!

•Kalau dibilang ‘nanti’ berarti ‘sekarang aja!’

•Kalau dia bilang ’segini aja’, jawab: ‘segitu aja deh….’

•Kalau dia bilang ‘nanti kamu butuh…’ Jawab aja: ‘Nanti insya Allah diganti sama Allah dengan yang lebih baik.

You give it and don’t ever look back.

Saya juga masih belajar. Amalkan apa-apa yang kamu ketahui, Allah akan mengajari apa-apa yang tidak kamu ketahui.

Thursday, December 17, 2009, 06.40

06 Jun 2009 Bunga Rumput
 |  Category: Serba-serbi  | Leave a Comment

Ada orang yang hidupnya kelihatan sangat biasa saja. Begitu datar dan tenang. Tak pernah menonjol di keramaian. Never been under the spotlight. Tak pernah jadi peran utama, hanya seperti figuran yang ada tiadanya tampaknya tidak terlalu berpengaruh. Pencapaian hidupnya biasa saja. Personifikasinya sangat umum tanpa ciri khusus. Kalau aku melihat beberapa teman yang seperti ini, aku sering menganalogikannya sebagai bunga rumput. Begitu simpel dan sederhana. Tidak seperti mawar yang merah merekah yang menarik perhatian setiap orang yang lewat. Tidak juga seperti melati yang memikat insan dengan harumnya. Hanya bunga rumput yang ringan dan mudah tertiup angin. Mungkin si empunya diri juga berpikir demikian.

Namun sejatinya tidak ada sesosok jiwapun yang kehadirannya tidak membawa arti. Kita hadir di dunia ini, must be for some reasons. Walaupun bagi orang kita biasa saja, tapi kita mesti memaknai kehidupan ini sebagai berkah. Menggali apa yang terbaik darinya. Mensyukuri dengan dalam adanya kita sebagai manusia.

Bunga rumput: dia seolah terlupa, tapi ada.

Written: Saturday, June 06, 2009, 03.31

29 May 2009 Seprai
 |  Category: Refleksi, Serba-serbi  | 3 Comments

I’m not so much into something. Aku senang segalanya seadanya saja. Pagi ini aku terbangun jam 3 pagi dan membenahi beberapa pekerjaan yang ada. Usai mencuci piring dan menyetrika, aku membereskan pakaian ke dalam lemari. Hmm….rasanya lemari pakaian kami sudah agak kepenuhan. Padahal kupikir-pikir, kami termasuk jarang menambah koleksi lemari kecuali ketika Hari Raya saja.

Sebagai seseorang yang suka memikirkan sesuatu dalam-dalam, hal itu lantas menarikku ke dalam alam pikiran lain. Setelah kupikir-pikir, aku cukup nyaman dengan keadaanku saat ini. Rumah mungil yang sederhana. Memadai, simpel, mudah dibersihkan, but feels so homy to us. Barang-barang fungsional yang kami beli demi fungsi nyatanya. Jangan tanyakan aksesoris, karena kami tak punya aksesoris. Juga jangan tanyakan koleksi sepatu, karena kami tak akan membeli yang baru sebelum yang lama rusak atau kekecilan. Dan bisa ditebak, warnanya pasti hitam, karena warna itu netral dan bisa masuk dalam semua busana.

Aku pernah singgah ke rumah seorang kerabat dan segera mengidentifikasikan diri bahwa gayaku sama sekali berbeda dengan gayanya walau usia kami sebaya. Aku tidak bermaksud mengkritik, karena tiap orang punya gaya dan selera masing-masing. Dia punya puluhan koleksi sepatu dan sandal serta selemari penuh boneka-boneka lucu yang bagiku mungkin hanya menuh-menuhin rumah saja. ‘Nyemak’ (membuat seperti semak), demikian orang Medan biasa menyebutnya. Juga pernak-pernik lucu seperti bingkai-bingkai mungil dan indah yang karena terlalu banyak maka diletakkan bertumpuk begitu saja sehingga tak tampak lucu lagi bagiku.

Memiliki suatu barang terlalu banyak, berarti harus siap juga dipusingkan dengan perawatan dan penyimpanannya. I once read in a newspaper, aktris senior Rae Sita punya 3-4 kamar di rumah mewahnya yang difungsikannya sebagai gudang untuk menyimpan barang-barangnya yang masih bagus tapi tak terpakai seperti karpet dan barang-barang lainnya. Dan dia masih saja mencari kamar tambahan lain yang siap dialihfungsikan lagi menjadi gudang berikutnya. Hmm…mungkin barang-barang tak terpakai di rumahnya bisa menjadi harta karun di tangan orang lain.

Yang terjadi padaku sebenarnya jauh lebih sederhana. Tapi itupun kadang-kadang agak membuat kewalahan karena lemariku nyaris tak bisa lagi memuatnya. Yang ingin kubicarakan di sini adalah soal seprai yang bagi sebagian orang mungkin tak seberapa jumlahnya.

Kami mendapat 2 seprai sebagai kado pernikahan kami. Dan 1 seprai yang kudapat sebagai isi hantaran saat akad nikah. Selama 2 tahun itu mencukupi. Lantas ada tetangga yang menawari seprai secara kredit. Entah kasihan atau merasa butuh, akhirnya aku mengambilnya. Tak lama, ada saudara dekat yang butuh uang yang mau menjual seprai barunya yang didapat dari hasil arisan seprai. Jadilah 5 kepunyaan kami. Lantas menjelang kepulangan ke Medan untuk menghadari pernikahan adik, kami memborong 3 buah. Satu untuk adik, satu untuk paman yang menikah juga, dan satu untuk kami pakai sendiri: sebuah seprai sisa ekspor yang berbahan adem tapi berharga diskon.

Menjelang pindah ke Surabaya, ada mall yang baru buka di Cikarang yang menawarkan satu set bed cover plus seprai dengan harga amat murah. Aku membelinya. Meski kemudian si seprai jarang terpakai karena ternyata bahannya panas.

Lalu aku membeli 1 bed cover lagi. Tidak dengan seprai pasangannya, karena merasa sudah punya cukup banyak. Terakhir, saat kami pindah ke rumah yang sekarang, ibu-ibu PKK di perumahan yang lama datang bersilaturrahmi dan dengan berbaik hati memberikan sebuah kado berupa seprai lagi. Jadi sekarang ada 8 seprai bergantian dipakai untuk hanya sebuah kasur double di rumah kami. Ini di luar beberapa seprai untuk bed single anak-anak dan (mantan) asisten. Entah berapa aku lupa jumlahnya seprai single ini. Mungkin 6 atau 7. Sebagian punya Mas waktu masih kost sebagai mahasiswa dulu. Intinya, bagi kami ini sudah sangat mencukupi. Meski kadang tergiur juga untuk menambah yang baru lagi saat berjalan-jalan di pertokoan. Tapi aku yakin, itu lebih karena keinginan dibanding kebutuhan. Sederhana dalam kelebihan memang tak kalah sulit dibanding bersabar dalam kekurangan.

Sebagai penutup, ada kisah berhikmah tentang Nabi Isa a.s yang kubaca di buku Cinta Bagai Anggur karangan Syeikh Muzaffer Ozak.

“Nabi Isa as melepaskan dunianya. Ia menceraikan dunia ini sepenuhnya. Pada akhirnya, hanya ada dua buah benda yang dimilikinya-sebatang sisir yang biasa ia pakai untuk menyisir jenggotnya, dan sebuah gelas yang dipakainya untuk minum.

Sampai kemudian, suatu hari, Nabi Isa as berjumpa dengan seorang lelaki tua yang menyisir jenggotnya dengan tangan, maka ia pun membuang sisirnya. Lalu ia melihat seorang lelaki lain yang meminum air dengan tangannya, maka ia pun membuang gelasnya.”

Friday, May 29, 2009, 05.28