Aku masih berdiri bermunajat malam saat terdengar kurir mengetuk pintu tetangga berulang kali. Aneh, mengantar paket di dini hari begini. Aku menyingkap tirai. Terlalu gelap. Tak ada yang terlihat. Aku lanjutkan munajatku. Segala pikiran berkelebatan. Mungkin kurir itu mengantar paket dengan layanan sehari sampai, sehingga harus tiba hari ini juga dan dia didenda perusahaannya bila tugas tak rampung? Kasihan sekali kurir itu. Harus mengantar paket sampai dini hari. Sampai terselip doa: “Ya Allah berkahilah kurir itu yang bersusah payah bekerja mencari nafkah demi keluarga. Mudahkanlah rejekinya.”
Suara ketukan pintu atau pagar masih terdengar. Lalu aku teringat bertahun silam saat suamiku berjam-jam mengetuk pintu sepulang kerja karena istrinya ini tertidur pulas. Kami tinggal di Cikarang waktu itu. Lalu terbayang aku membukakan pintu. Aku dengan daster lusuhku. Dengan putra kami yang masih 2 orang. Lalu dengan kecepatan pikiran berkelebat semua kenanganku bertahun-tahun bersamanya. Dia yang amat sabar menjadi pendampingku. Aku menangis. Teringat beberapa jam yang lalu aku ngambek dalam pasang surut hubungan berumah tangga ini. Wahai Diri, apa sekian panjang kenangan manis terlupa begitu saja? Tak kau hargaikah dia yang selama ini begitu baik dan setia, menerima setiap salah dan kurangmu? Betapa naifnya aku.
Tak lama terdengar pintu tetangga terbuka. Nampaknya paket telah diterima. Deru suara motor kurir terdengar berlalu. Dan aku lalu menuntaskan munajatku. Tak sabar ingin menuliskan semua keharuan ini. Kunyalakan lampu. Jam menunjuk pukul 01.22. Rupanya kurir itu telah dikirim Allah Al-Lathief untuk memberi pelajaran buatku. Alhamdulillah.