Seorang teman berulang tahun berdekatan hari. Aku tanya: “Apa hadiah ulang tahunmu dari suami?” Dia jawab: “ Ingat pun dia tidak!” Kasihan. Tapi apa perlu dia dikasihani? Sedang dia pun telah menerimanya sebagai nasib. Lalu aku berpikir tentang kebahagiaan. Apakah dia bahagia bersama suaminya? Apakah agak bahagia? Setengah bahagia? Bahagia? Sangat bahagia? Apakah bahagia bisa diukur? Kebahagiaan adalah masalah rumit. Rumah tangga, apalagi, adalah masalah yang sangat rumit. Bisa saja bahagia di rumah tangga bersama anak, tapi tidak begitu bahagia bersama suami. Tapi bagaimana, suami kan bapaknya anak-anak. Pasti ada kebahagiaan saat dulu berbagi cinta bersama suami menghasilkan anak. Tapi apakah memang kebahagiaan bisa diukur dari penampakan luar? Ketika sepasang kekasih memang pendiam, dan membangun hubungan dalam diam, apakah sebetulnya mereka tidak bahagia, walaupun kelihatannya memang tidak bahagia? Aku dulu punya bayangan bahwa suamiku nanti adalah seorang yang pendiam. Aku sampai seringkali berpikir, bila suami istri bertemu dan berbicara tiap hari, apakah mereka tidak akan kehabisan bahan pembicaraan? Apakah hubungan mereka yang pada awalnya hangat dan menarik berangsur-angsur menjadi begitu kaku, dingin, dan membosankan karena pembicaraan yang hanya ngalor ngidul ke itu-itu saja? Kini aku sudah bersuami. Sudah 4 tahun malah. Ketika aku dulu menceritakan ini pada suami dia tertawa saja, dia malah berujar: “Ade’ dulu membayangkan seperti itu? Kenyataannya gimana? Beruntung kan kau dapat suami yang hangat dan romantis!” Dia benar. Ya, aku memang beruntung!