Warning: Constant DB_COLLATE already defined in /home/u635756005/domains/nurulnoer.com/public_html/wp-config.php on line 75
nurulnoer.com » My Self

Archive for the Category ◊ My Self ◊

23 Oct 2007 All I Can Eat?
 |  Category: My Self  | 6 Comments

Tuesday, October 23, 2007, 16.10

Beratku naik 2-3 kilo ba’da
lebaran ini. Dengan perut menyembul yang mirip sangat dengan orang yang
hamil muda. Memang, as Oprah says, there’s no instant way to be slim and fit
besides changing our way of life such as eating habbit. Dia bilang, kalo ada
pil yang langsung bisa bikin kurus orang, ‘I would be the first to buy it’.
Tapi kenyataannya kan gak bisa begitu. Semua memang harus ada tahapan dn prosesnya. Jadi mustahil dan
jangan lantas percaya pada produk yang mengaku bisa langsung melangsingkan
secara instant tanpa kita harus berusaha merubah pola makan dan berolahraga.
Jadi ga ada tuh istilah ‘all you can eat’ bagi orang yang berniat pingin kurus.

Mesti menghitung-hitung dengan
cermat berapa kalori yang masuk ke dalam tubuh, dan lain sebagainya.

Aku sih mulai agak ‘ngeh’ dengan
masalah ini, tapi tetap aja belum bisa merubah my eating habbit. Beruntung aku
termasuk orang yang ga cepat gemuk. Kalo aku termasuk yang cepat gemuk, ga
kebayang deh gimana melarnya badanku sekarang. Aku ngemil almost everyday. Ga
berpantang sama sekali sama semua makanan manis seperti sirup yang sehari bisa
beberapa gelas kuminum, coklat dan es krim kalo lagi kebetulan ada, and any
kind of soft drink. Dan ga pernah berpantang harus makan jam berapa. Kalo Oprah
bilang dia menahan diri untuk tidak makan after 18.00 (kalo ga salah ingat) atau
dua jam sebelum tidur, maka yang demikian itu ga berlaku buatku. Aku masih bisa
makan coklat dan sirup bahkan setelah gosok gigi dan beberapa menit sebelum
berangkat tidur. Kalo terbangun tengah malam dan kelaparan, ya langsung kuembat
aja apapun yang ada. Dan porsi makanku termasuk besar loh, at least compare to
Mas. Bisa dua kali lipat porsinya Mas. Tapi porsinyanya Mas sedikit kok (hehe…masih
berusaha memaklumi diri), cuma 1 centong nasi. Dan ga pernah ada istilah ga
sarapan buatku. Breakfast is a must.

Untungnya kalori yang masuk masih
kubagi dengan Halim, jadi ga semuanya buat aku sendiri thok. Orang menyusui kan memang
harus banyak makan ya? Kan bawaannya laper mulu (again, an excuse…).

Jadi malu ketika seorang teman
berkata dia mulai merubah eating habbit dan berdiet dengan makan nasi hanya 1 x
sehari dan memperbanyak makan sayur dan buah. Dalam hati aku hanya membatin:
‘Apa ga kelaperan itu ya, makan segitu doank?’ Dan sepertinya sampai saat ini
aku merasa belum ingin mengikuti jejaknya. Masih saja: All I can eat. Really?

28 Sep 2007 Being With You
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 5 Comments

Friday, August 10, 2007, 01.29

Bersamanya aku bagai di puncak tertinggi dunia. Tak ada lagi yang dilihat
di atas kecuali langit luas yang tak terbatas. Tak ada lagi yang bisa didaki
karena telah sampai di ujung pencapaian.

Bersamanya aku bagai berteduh di pohon rindang besar. Di bawah dahan lengan
yang kokoh. Di bawah rimbun daun kasih sayang yang teduh. Di antara gombolan
buah kebijaksanaan yang menyegarkan. Aman. Damai. 

Kedekatan itu ibarat magnifying glass
yang bisa memperjelas baik dan buruk sesuatu. Bila hidup sedemikian lama dengan
seseorang, dan tidak menemui cela berarti padanya, maka memang demikian adanya.

Aku menemukanmu sebagai imbangan yang sangat pas. Dalam segala hal. Tidak
keras tapi tegas. Punya prinsip tapi kompromistis. Bervisi tapi realistis. And
many more. Mengurainya hanya membuatku berurai air mata. Air mata haru dan
bahagia.

I’ve been blessed so much by
you…

06 Sep 2007 7 September, 8 Tahun Lalu
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 7 Comments

Seingatku hari itu Selasa, 7 September 1999. Aku baru hendak masuk ke kelas Bahasa Indonesia yang akan dimulai pukul 2, ketika ia menyodorkan sebuah surat bersampul coklat kepadaku. ‘Buat Sahabatku Nurul Halida’.
‘Apa ini?’ tanyaku.
‘Baca aja sendiri’
Aku lantas bergegas ke Gedung B, di mana kelasku berada. Setelah mendapat tempat duduk di belakang di kelas besar itu, dengan rasa tak sabar yang meluap-luap aku segera merobek sampul surat itu dan membaca isinya. Dan ternyata dugaanku tak meleset! Meski tak ingin merasa GR duluan, tapi aku punya feeling akan ke arah sanalah isi surat ini menuju.


    Setelah merenung sekian lama, aku berkesimpulan bahwa aku harus menyegerakan pernikahan. Semakin lama aku menundanya, semakin besar peluangku untuk jatuh dalam kemaksiatan. Aku ingin menjaga kehormatan diriku melalui pernikahan.
    Akhirnya aku sadar hal itu perlu persiapan yang matang. Banyak hal yang harus dilakukan sebelumnya. Dan aku juga sadar, untuk beberapa hal aku belum punya persiapan. Namun, aku yakin, jika apa-apa yang kulakukan demi mencapai keridhoan Allah, pasti Allah akan membantu.
    Dan semenjak aku mengenal Nurul, ada perasaan mungkin Nurul adalah orang yang tepat bagiku. Nurul dalam pandanganku adalah seorang wanita yang selalu berusaha menjaga kehormatan diri, seseorang yang berusaha mematuhi perintah Tuhannya. Seorang wanita yang mau meluangkan waktu untuk memahami Islam dengan lebih baik, dan menjadikan dakwah sebagai salah satu tugas utama.

    Aku ingin memilih Nurul untuk menjadi pendidik bagi anak-anakku kelak. Aku ingin menjadikan Nurul sebagai tempatku berkeluh kesah saat ditimpa kesulitan, menjadi penasehat kala aku kebingungan, menjadi penghiburku ketika bersedih, memberiku semangat ketika motivasi untuk melakukan sesuatu tak kunjung datang, dan menjadi penyejuk pandangan ketika hati ini gundah gulana.
    Mungkin angan-anganku tentang sebuah keluarga terlalu berlebihan. Tapi yang pasti, setiap orang berhak punya cita-cita. Dan tak ada yang mustahil jika kita mau berusaha. Semoga Allah memberiku surga di dunia berupa keluarga yang sakinah.

    Aku tak tahu pasti apakah aku tergesa-gesa ingin menikah ataukah ingin menyegerakannya. Mudah-mudahan aku termasuk orang yang ingin menyegerakan.
    Jika Nurul yakin dan memberiku kepercayaan, insya Allah aku akan menjaga amanah yang diberikan kepadaku. Jika Nurul tidak cukup yakin dan masih ragu-ragu, mungkin kita bisa berta’aruf untuk lebih mengenal. Dan jika Nurul menolak, mungkin kita bisa menjadi sahabat yang baik dengan saling nasihat menasihati. Apapun jawaban Nurul, aku akan berusaha untuk menerimanya dengan lapang dada.
    Seandainya Nurul menerima ajakanku ini, kita bisa segera mempersiapkan diri sejak awal menuju pernikahan. Mungkin akan memakan waktu yang lama. Tapi yakinlah, persiapan yang matang jauh lebih baik daripada ketergesa-gesaan.

Begitulah penggalan surat 5 lembar yang sontak membuatku bingung itu. Reaksi spontanku waktu itu adalah kaget dan terharu berkaca-kaca. "Waduh gimana nih caranya bilang ke ortu.  Baru  18 udah ada yang ngajakin nikah". Akhirnya surat itu kuberitahu ibuku seminggu setelahnya.  Ibuku pun kaget seolah tak percaya sambil setengah meledek anaknya yang masih bau kencur ini.

Tapi proses selanjutnya tidak semulus yang orang kira. Begitu banyak pergolakan batin dan pikiran yang berkecamuk dalam diriku. Yang terutama adalah perbedaan pola pikir (fikroh) antara kami. Aku yang sebenarnya amat pemalu kepada lawan jenis ini, sampai nekat mengorek-ngorek informasi dari orang-orang yang kunilai cukup dekat dengan si dia ini. Mulai dari teman satu asrama, sampai kakak kelas yang sering jadi teman diskusinya. Saking seriusnya, pake surat-suratan segala lagi dengan sang nara sumber.

Karena begitu banyak keragu-raguan, hubungan kami jadi sempat tarik ulur antara iya dan tidak. Sampai akhirnya dia memberi ultimatum tanggal 13 Mei 2000. Kalau aku menjawab tidak, maka dia akan memulai proses dengan seseorang yang lain demi mencapai niat tulusnya untuk menyegerakan pernikahan.

Alhamdulillah, saat itu aku menjawab iya. Dan kusadari kini bahwa itu adalah keputusan yang paling tepat sepanjang hidupku. He’s the best thing ever happenned to me.

Ternyata segala kecemasan, kekhawatiran dan ketakutanku dulu sama sekali tak terbukti. Malah kalau aku flash back lagi sekarang, aku merasa konyol dengan segala paranoia ku yang berlebihan dulu.

He’s everything I can hope for and more…

21 Aug 2007 Just The Two of Us
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 7 Comments

Barusan Mas telfon. Jam 7 an malam gini memang Mas seringkali nelfon kalau belum pulang dari kantor. Entah menanyakan minta dibawakan apa nanti, mengabarkan sedang akan berkemas pulang, atau malah memberitahukan akan pulang agak malam karena banyak urusan.

Tumbennya, malam ini Mas mengajak keluar berdua saja. Tanpa anak-anak. Alfath yang sudah mengerti merengek minta ikut. Menuduh ayah bundanya jahat karena tak mau mengajak anak-anak. Dasar anak-anak. Belum mengerti bahwa orangtua kadang butuh waktu untuk berdua saja. Untuk sekedar ngobrol santai dari hati ke hati, lepas dari rutinitas hidup dan perkawinan yang lama kelamaan tak terasa istimewa karena terlalu biasa. Untuk sekedar melepas lelah sejenak dari kelelahan, mencari sebuah sanctuary untuk berteduh bersama. Untuk saling mendukung dan mengokohkan satu sama lain, agar menjadi orang tua yang kokoh menaungi anak-anak bersama.

Kadang-kadang, suami istri begitu asyik menjadi ayah dan bunda, sehingga lupa bahwa mereka adalah juga sepasang kekasih.

19 Jul 2007 Mantan Sufi
 |  Category: My Self  | 4 Comments

Dulu, aku ini sufi (suka film). Movie mania. Aku dulu berpendapat, setiap film pasti ada inti ceritanya dan amanat tersendiri yang menarik untuk disimak. Ada suspensenya yang menarik untuk diikuti. Ada insight berharga that can freshened up my life.

Walhasil, dulu kami, aku dan suami, rajin banget tuh hunting film ke rental (karena kecewa kalau beli CD bajakan yang kualitasnya jelek, tapi ga mampu beli yang original). Hidup Video Ezy!!

Sampai suatu hari: Wuueekk, (gaya orang mual) : I think I have had enough of it!

Kalo orang bilang sesuatu itu ada kadarnya,maka rasanya kadar kegemaranku nonton habis sudah. Aku sudah sampai pada tahap jenuh yang sangat.

Entah karena repot atau apa, yang jelas aku udah ga nafsu aja nonton film. DVD di rumah aja masih banyak yang belum kutonton dan rasanya belum akan dan belum mau kutonton. Kalo senggang enakan tidur. Atau sekarang, internet jadi kesibukan baru.

Rasa jenuh ini kurasain udah lumayan lama. Mungkin tahun 2002-2003 an (kalo ga salah inget). Kalo sekarang pendapatku begini: "Ah, paling film ceritanya gitu-gitu aja. Kalo action, jagoannya yang menang…"

Akhirnya sekarang, kalo aku lagi mau nonton, aku ngajak suami dan anak-anak (kalo filmnya cocok u anak-anak) untuk ke bioskop. Jadi nontonnya emang diniatin untuk nonton.

Wah, beneran deh, sekarang aku emang udah jadi mantan sufi.