05 Jun 2008 Makan tuh Gengsi!
 |  Category: My Husband, My Self

Sorry for being sarcasm. Abis ngomong2 soal finansial sama seorang teman yang dilanda kekhawatiran untuk menikah karena merasa belum mapan. Tulisan ini bukan tentang dia. Hanya terpicu darinya. Jadi inget pengalaman beberapa tahun silam. Saat kami masih tinggal di sebuah kota industri yang sedang pesat berkembang. Dari perbincangan antar ibu-ibu teman TK anakku, berkembanglah sebuah regular conversation. "Suaminya kerja di mana Bu?" And then bla…bla…bla… "Oh, tetangga saya juga kerja di sana. Bagian security. Hebat ya Bu kesejahteraannya. Habis bangun rumah. Rumahnya paling tinggi sendiri. Habis ngambil motor juga, and bla..bla..bla.." Dalam hati membatin: Wah security aja hebat banget ya, seharusnya ‘The Assistant Manager’ …? Hehe, spontan muncul sebentuk keangkuhan primordial.

Seingatku aku lantas cerita ke suami. Lupa apa yang dia bilang waktu itu. Intinya yang teringat: Jangan silau dengan apa yang dipunyai orang lain. Kita kan ga pernah tahu bagaimana keadaan ‘dapur’ orang lain. Begitu ujarnya. Kalo misalnya gaya hidup jauh melebihi penghasilan dan ga ada pemasukan dari sumber lain, ya…kita bisa menebak-nebak dari manakah asalnya ‘uang lebih’ itu. Credit card perhaps…? Ups, semoga bukan Anda!

We never know what happen behind the close door. Begitu bahasanya Oprah. Bukan rahasia kan kalo banyak orang yang terjebak dalam lilitan utang kartu kredit. Kartu sudah off-limit semua, bunga semakin membengkak, sementara kemampuan bayar, bahkan untuk tagihan minimum sekalipun, tak ada. Akhirnya terpaksa jual asset. Rumah akhirnya dijual murah karena BU. Walah…walah…Celaka 13!

Ada nasehat bijak dari Suze Ormon, O magazine editor. We always trying to impress everybody, bahkan yang kita ga kenal sekalipun, dengan menunjukkan apa yang kita punya. Ada 3 hal yang harus Anda pikirkan sebelum membeli sesuatu. Apakah sesuatu itu memang BAIK, apakah memang BUTUH, apakah memang BENAR. Means that kalau ternyata ga punya daya beli a.k.a UANG , berarti ga bener kalo memaksakan beli.

Lain soal if you can afford it. Tapi teteeep, gw punya issue (bahasa yang sering dipake Pak Noer) sama sesuatu yang berlebihan, though you can afford it. Suka ga habis pikir sama orang yang punya tas atau sepatu sampai berrak-rak. What a waste! (Bagi gw)

You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

One Response

  1. Aku dah pernah cerita belum ya sama dikau?Aku silaturahmi ke rumah seseorang di surabaya ini,dan beliau membujukku untuk membeli tas dagangannya. Dia berbisik padaku,”Ayo dong perhatikan penampilan.Harus disesuaikan dengan posisi suami..”Secara waktu itu aku ke rumahnya cuma pake tas rajutan yang pasti butut banget dimatanya.Aku cuma senyum,rada-rada tersinggung juga.Ku bilang,”Makasih,Bu…nasehatnya dipertimbangkan.”Uda mengingatkan aku untuk tidak terpengaruh.”Itu bukan lifestyle kita”katanya.

Leave a Reply » Log in