Archive for the Category ◊ My Kids ◊

18 Nov 2009 What Is The Hardest Part of Having A Baby?
 |  Category: My Kids, My Self  | Leave a Comment

What is the hardest part of having a baby? Begitu pertanyaan dalam ruang pikiran yang tak henti berkelebatan. Susui bila haus lapar. Bersihkan badannya agar nyaman.Timang-timang bila menangis bosan. As simple as that. Sungguh aku takut terdengar sombong mengecilkan masalah. Karena setiap perkataan pasti diuji. Semua orang tahu beratnya jadi ibu. Pekerjaan yang tak mengenal kata libur dan cuti.

Tips of the day. Jangan pernah mencoba untuk sempurna. Kekecewaan itu timbul bila ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Cuek sedikit tak mengapa. Lupakanlah tentang rumah yang harus selalu bersih cemerlang. Aku mencermati bahwa aku selalu jadi kesal dan judes pada anak-anak bila kelelahan berulang kali menyapu tapi rumah kembali kotor lagi dan lagi. Hari ini moodku sedang bagus. I’am loosen up a little bit. Tetap tenang walau banyak barang berserakan tak pada tempatnya. Toh nanti ada waktunya juga semua kekacauan itu akan kubereskan.

Aku pernah menulis tentang how I manage my routines. Well, setelah kehadiran amanah baru, apa yang dulu rutin kujalani pastinya berubah sedikit banyak. Sekarang, kadang aku mengerjakan sesuatu hal single-handedly. Bukan kiasan tapi benar-benar single-handed karena tangan yang satu kugunakan untuk menggendong Nuri yang kebetulan bobot tubuhnya masih ringan. Menyapu dan mengepel mungkin saja bukan, dilakukan sambil menggendong?

Jadi, jangan risau dan stress Dear Mommies. You are not alone. Enjoy aja. Keep it simple. Jangan diperumit. Segala sesuatu itu terasa sulit kalau kita menjadikannya sulit. Kita pasti selalu punya cara untuk menghadapi apa yang ada di depan mata hari ini.

Wednesday, Nov 18, 2009, 11.00

12 Jul 2009 How I Manage My Routines
 |  Category: My Kids, My Self  | 5 Comments

Banyak hikmah yang kurasakan sejak kehilangan asisten pada 13 April 2009 lalu. Sungguh, di balik kejadian itu aku sangat bersyukur pada Allah yang berkenan membolak-balik keadaanku dari bentuk semulanya yang stagnan menjadi lebih hidup dan bermakna. Dia berkenan memangkas ranting kering tak berguna dalam kehidupanku, sehingga pohon diri ini dapat tumbuh lebih segar dan subur.

Sebelumnya hariku berjalan sangat santai karena hampir semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh asistenku. Mulanya pekerjaan memasak masih aku yang mengerjakan sendiri, tapi begitu dia sudah pintar, dia pun dengan sukarela mengambil alih tugas itu. Aku paling hanya mengerjakan tugas ringan sesekali. Waktuku banyak habis di depan komputer. YM ngalor-ngidul, browsing sana-sini, tidur, menemani anak. Meski banyak waktu luang, tapi tak banyak pekerjaan produktif yang kulakukan. Aku malas membaca buku dan mandul pula dalam menulis. Dan tanpa kusadari emosi batinku seringkali terkuras karena suka makan hati pada asisten yang tentu saja lumrah punya kekurangan karena dia manusia. AstaghfiruLlah…

Setelah mbakku tidak ada, beginilah ritme baruku dalam menjalani rutinitas harianku. Setelah Sholat Shubuh, kalau tidak kesiangan, aku akan belanja ke pasar kecil yang hanya digelar tiap pagi di depan komplek perumahan. Meski pilihannya agak terbatas –seperti daging yang jarang ada- tapi inilah pasar terdekat yang mudah kujangkau dalam waktu singkat. Pulang belanja aku akan menyiapkan sarapan. Kalau aku bangun agak kesiangan, aku akan menyiapkan sarapan dulu, baru kemudian belanja kalau anak-anakku yang kecil sudah bangun. Kalau mereka belum bangun, biasanya aku akan berjaga menunggu Pak Penjual Sayur Bermotor yang biasa lewat di depan rumah. Dulu, waktu mesin cuciku sempat rusak, spare waktu antara menunggu anak-anakku terbangun dan Alfath serta ayahnya telah pergi beraktivitas, kugunakan untuk mencuci. Tapi sejak mesin cuciku sudah ‘sembuh’, aku hanya tinggal menjemur pakaian yang telah dicuci malam sebelumnya. Aku memang biasa memperkerjakan mesin cuciku malam hari karena pasokan air yang deras dan lancar sehingga tidak merusak mesin.

Setelah krucil – Halim Si 2 Tahun dan Aslam Si 3,5 Tahun- bangun, aku memandikan mereka. Memberi susu dan sarapan. Dan setelah itu memulai aktivitas memasak. Belakangan aku sering memakai jasa catering. Terus terang aku sangat terbantu bila memesan catering. Ada 3 pekerjaan yang bisa ku-skip. Aku tak perlu belanja, tak perlu memasak, juga tak perlu mencuci peralatan memasak. Tentu saja ada pula kekurangannya. Kadang menu tak cocok, terlalu sedikit sehingga tetap harus menambah dengan membeli makanan lagi di luar, dan aku juga tidak bisa memastikan bahan makanan apa yang masuk ke perut keluargaku. Apakah cukup sehat seperti bebas MSG, dlsb.

Oh iya, terus terang saja, hingga kini setelah 8 tahun menikah, rasanya progressku dalam memasak tak banyak berubah. Masih setia dengan menu-menu sederhana dan simpel, yang kadang membosankan. Tidak rumit dan sophisticate. Bayam, kangkung, sawi, sop, aneka balado dan tumis-tumisan dan sebangsanya yang berputar-putar itu-itu saja. Tambahan lagi anakku juga suka pilih-pilih makanan, sehingga pilihan bahanku makin terbatas. Masak ikan ini itu Alfath ribut amis. Tempe gak suka. Dan lain sebagainya. Aku juga tak pernah bikin kue. Cemilanku buat anak-anak paling-paling seputaran jelly, agar-agar, pudding, es krim dari bubuk instant. Haha…ini ceritanya sharing atau buka aib sih 🙂

In the middle of the cooking process yang dimulai sekitar jam 9-an itu , aku biasanya menghidupkan computer dan modemku. Mencari sedikit hiburan lewat facebook, Multiply dan cek e-mail. Untuk YM, sekarang nyaris tak pernah kulakukan karena sangat menuntut fokus perhatian yang intens dan tak bisa ditinggal. Anak-anakku pada saat itu biasanya asyik main, menyusun-nyusun mainan dan memanggilku untuk melihatnya hasil karyanya bila sudah jadi. “Bunda…Bunda…liat deh, Acam bikin rumah…”, atau “bikin keretaan” atau “bikin robotan” atau asyik menonton VCD anak-anak, atau asyik main pasir atau main air di luar.

Jam setengah satu Alfath pulang sekolah. Dulu, PC di rumah langsung berpindah tangan begitu dia pulang. Tapi sekarang karena ada komputer satu lagi, jadwalku jadi agak leluasa. Halim biasanya tidur jam segini. Aslam kadang tidur kadang tidak setelah kusuapi makan siang. Alfath juga kadang masih kusuapi barengan Aslam. Sehabis itu aku mandi dan Sholat Dhuhur. Setelah itu aku istirahat tidur siang, karena kalau kurang istirahat biasanya aku jadi uring-uringan, jadi sensitive dan gampang marah. Apalagi dalam keadaan hamil begini. Aku sangat butuh istirahat sejam dua jam.

Agar tidurku tenang, pintu rumah kukunci dam Halim kupakaikan diapers. Karena Alfath jarang sekali tidur siang, adik-adiknya pun terkadang suka skip their nap time atau hanya tidur sebentar saja. Tapi sering juga para krucil itu tidur bareng aku. Sementara Alfath sibuk main game computer setelah sholat Dhuhur atau menggambar kalau dia sedang ingin. Kadang dia tertidur juga bila kelelahan.

Aktivitas soreku mulai sekitar jam tiga atau setengah empat. Yaitu: Sholat Ashar, memandikan anak, nyapu dan mengepel, masak nasi, mengangkat jemuran, menyuapi anak. Biasanya selesai sekitar jam 5 sore atau menjelang Maghrib (Maghrib di Sby sekitar jam 17.30). Mencuci piring biasanya makan waktu beberapa menit saja. Karena kulakukan sering-sering tiap ada yang kotor jadi tak sampai menumpuk.

Nah, jadwal sore yang sibuk ini juga yang suka jadi pikiranku. Kalau dulu anakku Halim tiap sore diajak main ke luar oleh Si Mbak. Sekarang dia tak pernah main jalan-jalan ke luar, hanya main di rumah saja. Apa Halim ga suntuk ya seharian di rumah saja?

Sehabis Sholat Maghrib aku terkadang baca Al-Qur’an dan mengajari Alfath mengaji (sayangnya sekarang sering bolong-bolong, Alfath suka beralasan dia sudah belajar ngaji di sekolah, *mungkin akunya juga yang malas mengajar sehingga tak berkeras memaksanya. Don’t mean to blame on him. Hehe..*). Kegiatan baca Qur’an ini kadang kulakukan tengah malam. Satu kebiasaan baikku yang sejak dulu kulakukan adalah, aku tak pernah mengaji tanpa membaca terjemahan. Walaupun sedikit-sedikit mengerti Bahasa Arab karena sempat mengenyam bangku pesantren dulu, bagiku mengaji kurang afdol kalau sekedar membaca teks Arabnya saja. Walaupun hanya mengaji beberapa ayat yang penting kita tahu artinya.

Setelah Maghrib biasanya Si Bapak pulang kantor. Setelah makan malam, Mas biasa main, bercengkrama dan besenda gurau bersama anak-anak.

Aku biasanya membuka komputer lagi setelah keadaan santai. Pekerjaan yang termasuk shift malamku adalah: mencuci piring untuk terakhir kalinya, menyetrika baju yang tak pernah alpa kulakukan tiap hari agar tak menumpuk, dan memasukkan cucian ke mesin cuci. And tomorrow, I’m ready for the new day … 🙂Memulai siklus ini sekali lagi.

Sepanjang malam aku akan terbangun beberapa kali untuk membuatkan Halim susu bila ia terbangun dan minta susu. Dan pada waktu tengah malam beginilah, di suasana yang sunyi ini, biasanya aku bisa dengan lancar menuangkan ideku dalam tulisan. Rasanya aku lebih produktif menulis setelah menjalani hidup yang aktif.

Aku berterima kasih pada-Mu ya Allah…atas waktu dan tenagaku yang telah Kau karyakan.

Tentu saja aku masih jauh dari sempurna dalam menjalani peranku sebagai ibu, istri dan pribadi. Masih banyak sekali kekuranganku. I didn’t do gardening. I didn’t do dusting kecuali bila telah diingatkan suami akan betapa telah kotor dan berdebunya perabotan kami yang cuma sedikit itu. Aku tak bisa ingat kapan terakhir kali aku membaca bacaan serius dan bermutu. Aku suka menyerah pada instant junkfood yang kurang sehat tapi enak untuk anak-anakku. And I do a little bit too much facebooking…. 🙂

Forgive me. I’m only human…

Saturday, July 11, 2009, 22.55

07 Jun 2009 Lost Tempered
 |  Category: My Family, My Kids, My Self  | One Comment

Anak-anakku bermain bagai tak ada lelahnya hari ini. Berulang kali aku gagal menyuruh mereka tidur siang seperti biasanya. Sampai masuk petang, mereka masih asik bermain bagai tak kenal kantuk. Main air di kamar mandi. Menceburkan lego ke dalam kloset dan bak mandi. Setelah kumarahi dan kuminta keluar, arena bermain pindah ke halaman berpasir. Kenakalan khas anak-anak sebenarnya, tapi entah kesambet setan mana, aku langsung keras membentak mereka: “Ayo tidur !! Dari tadi Bunda suruh tidur ga ada yang mau tidur…” Aku mulai bertanduk. Kemarahanku mengeskalasi begitu cepat. Aslam kurenggut keras dan kupaksa pipis, lalu kugendong ke atas kasur. Halim pun demikian. Ia menangis keras dan bergegas turun segera setelah kuangkat ke kasur. Tapi kuangkat lagi ke tempat tidur meski ia terus meronta. Alfath dengan ketakutan juga ikut naik tanpa dikomando. Mas yang sedang di ruang atas langsung turun demi mendengar kegaduhan itu. Ia segera berinisiatif mengambil alih anak-anak dan mengeloni mereka, sementara aku secepat kilat menyambar sapu dan membersihkan seluruh rumah. Benar saja, mungkin karena kelelahan, dalam lima menit semua langsung terlelap. Mas lalu berbaik hati turun tangan mencuci piring (mudah-mudahan bukan karena takut pada istri yang sedang panas, karena sungguh aku tak memintanya melakukan itu). Dalam sekejap semua beres karena aku bekerja bagai kesetanan. Menyapu lantas mengepel bersih semua. Setelah itu langsung Sholat Maghrib.

Dalam sholat aku menangis menyadari kekasaranku pada buah hatiku. Menyesali renggutan kasar dan bentakan yang tak sepantasnya mereka terima. Aku lantas mengunci pintu. Ingin menikmati tangisku sendiri dengan memandangi, mengelus dan menciumi mereka. Tak kubukakan pintu meski Mas mengetuk ingin masuk. Duh, wajah-wajah polos dan lugu itu…ampuni aku ya Allah, telah mengkhianati amanah yang Kau anugrahkan padaku. Zalim sekali diri ini.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Ya Allah… aku sungguh berdosa telah menyakiti hati mereka, telah menorehkan luka di jiwa bening mereka. Kata orang, penyesalan mendalam itu datang terutama ketika memandangi wajah damai anak-anak saat tertidur lelap. Dan itu juga yang kurasakan. Kupandangi wajah polos mereka satu persatu. Ya Allah…betapa jahatnya aku. Padahal jika mereka sakit, aku akan menangisinya dan bahkan rela bertukar tempat dan menanggung rasa sakit yang mereka derita. Tapi kenapa kini, justru aku yang menorehkan sakit yang meski tak tampak zhahirnya tapi pasti membekas dalam pada jiwa mereka. Allah…ampuni aku. Maafkan Bunda ya anak-anakku sayang. Mudah-mudahan lain kali, kasih sayang dan akal sehat Bunda akan mengalahkan kemarahan Bunda.

Saturday, June 06, 2009, 22.06

22 Jan 2009 Tentang Usia Sekolah (Part II)
 |  Category: My Kids  | 2 Comments

Sekarang soal Aslam anak keduaku. Ia lahir bulan September 2005. Teringat percakapanku dengan Mas pada bulan Juli 2008 awal tahun ajaran ini. Saat umur Aslam belum lagi genap 3 tahun.

Aku      : “Aslam kita sekolahin aja ya Mas di Play Group?”

Mas     : “Loh, memangnya umurnya udah cukup?”

Aku      : “September ini udah 3 tahun sih. Gapapa deh Mas, kan untuk sosialisasi…”

Mas     : “Sosialisasi itu untuk anak yang di rumahnya ga ada temennya. Ini kan udah banyak temennya. Punya abang, punya adik, punya teman sebaya di sekitar rumah. Kalo masuk Play Group sekarang mau masuk SD umur berapa hayo…?”

Aku      : “Mmmm….kalo kuitung-itung kalo masuk PG sekarang berarti Aslam masuk SD umur 6 kurang. Kalo tetep mau masuk SD umur 7 kurang, berarti PG nya 2 tahun.”

Mas     : “Apa ga kelamaan masuk PG 2 tahun? Belum lagi TK nya nanti 2 tahun lagi. Nanti anaknya keburu bosen sekolah…”

Aku      : “PG kan isinya main aja Mas…”

Mas     : “Kalo main aja di rumah juga bisa. Di rumah juga banyak temennya. Bukan gitu Bunda, walopun PG banyak mainnya kan tetap aja yang namanya sekolah itu sifatnya formal. Anak mesti masuk di jam tertentu. Mesti ikut aturan tertentu. Sudah ada rutinitas yang harus dijalani. Kalo lagi males gimana? Sekarang apa untungnya coba masukin anak cepat-cepat. Ga usah ikutan orang lain yang masukin anak sekolah cepat-cepat. Kita kan udah punya konsep pendidikan sendiri. Apa untungnya anak lebih cepat membaca? Apa itu menjamin anak akan cinta membaca?”

Aku      : (sambil mikir, aku bisa baca umur 4 tahun, tapi kayaknya emang ga gitu cinta membaca…)

Mas     : “Masa belajar seseorang dalam hidup itu panjang. Buat apa diburu-buru.  SD aja 6 tahun. SMP 3 tahun. SMA 3 tahun. Trus kuliah lagi. Buat apa dimulai lebih awal. Puasin main selagi bisa bermain sepuasnya. Kalo sudah waktunya belajar serius ya serius. Kalo SD kan sudah serius, kasian kalo anak belum cukup umur. Apalagi sekarang SD bebannya tambah berat. Masuk SD udah mesti pinter baca.”

*Mungkin istilah Betawinya: lu kagak bakalan abis dah, makan bangku sekolahan seumur-umur*

Aku      : “Kan ada golden age Mas, sejak lahir sampe umur 3 tahun…?”

Mas     : “Iya, tapi kan yang namanya belajar itu ga mesti di sekolah. Bunda bacain cerita itu belajar, dia liat lingkungan sekitar itu belajar, main itu belajar. Mama kan guru SD  (ibu mertuaku Kepsek SD sekarang, dulunya masih guru), tapi Mas dulu dimasukin sekolah umur 7. Biar mateng katanya. Kalo umur kurang, mungkin aja sih secara akademis dia bisa ngikutin kalo anaknya cerdas, tapi secara mental dia belum matang. Belum lagi soal pergaulan, anak kan biasanya suka main dengan yang umurnya sebaya, kalo yang keliatan masih kecil suka dianggap ‘anak bawang’.”

Aku      : manggut-manggut aje, udah bingung mo ngomong ape.

Mas     : “Terus kalo anak itu kurang bisa menguasai pelajaran, bisa jadi dia merasa minder karena merasa bodoh,  padahal itu bukan kesalahan dia. Bisa jadi dia memang ga bisa karena memang belum waktunya untuk bisa, dia belum cukup umur untuk itu.

Yang sekolah kan anak-anak. Bukan kita. Jangan nurutin ego sebagai orang tua. Takut ketinggalan sama yang lain karena udah pada sekolahin anaknya.”

Aku      : “Iya Mas, kan sampe ada banyak tuh kelas toddler. Anak umur 1 tahun udah mulai sekolah.”

Mas     : “Ooo…Mas pribadi ga setuju kalo yang kayak gitu. Terserah orang kayak gimana.”

Aku      : “Mungkin itu untuk yang orang tuanya dua-duanya kerja ya, daripada anak di rumah sama pembantu aja…”

Mas     : “Kalo anak masuk sekolah usia matang, dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik, dewasa sesuai umurnya, udah punya rasa tanggung jawab. Perasaan ‘aku bisa’ itu bisa memupuk rasa percaya diri anak. Beneran loh Bunda, Mas ga mau sekolahin sekarang bukannya  karena ga mau keluar uang pendaftaran, tapi karena Mas merasa memang belum waktunya.”

Aku: (nyerah deh, gak bisa ngomong apa-apa lagi)

Lagipun ternyata, setelah aku iseng bertanya pada Aslam sendiri. “Aslam, udah mau sekolah belum?”

Jawabnya: “Sekolahnya nanti ajah!”

Deuu…kompakan nih anak sama ayahnya. Berarti emaknya ya yang kegatelan mau sekolahin anak buru-buru. Jadi gapapa ya Nak, Aslam masuk PG umur 3  tahun 10 bulan.

22 Jan 2009 Tentang Usia Sekolah (Part I)
 |  Category: My Kids  | One Comment

Kapan usia tepat anak mulai sekolah? Aku tak akan menulis tentang segala teori pendidikan yang rumit, yang jujur saja, memang tak begitu kukuasai. Hanya ingin menulis berdasarkan pengalaman yang kualami dan amati sendiri.

Anak pertamaku Alfath mulai menjajal sekolah ketika usianya 2,5 tahun. Kebetulan ada sebuah Play Group kecil yang baru berdiri tak jauh dari rumah kami. Mungkin karena baru, uang pendaftarannya pun teramat murah. Hanya 10 ribu kalau tak salah. Dan dengan iuran 15 ribu untuk 3 kali jadwal masuk seminggu.

Awal masuk anakku tampak tak terlalu antusias. Setelah beberapa kali masuk pun tampaknya dia belum terlalu berbaur dengan teman sebayanya. Kalau anak-anak yang lain bisa dengan tertib mengikuti gerakan senam sebelum jam masuk kelas dimulai, ia lebih memilih main papan seluncur mini yang ada di sekolah. Tidak, ia bukannya tak mengerti apa suruhan, perintah dan omongan gurunya. Ia anak yang cerdas. Lancar berbicara apa saja ketika berumur 20 bulan dan dengan sukses membuatku terharu kala dengan setengah berteriak mengatakan: “I love you, Bunda….” seraya melambaikan tangan padaku yang akan berangkat mengajar. Waktu itu umurnya sekitar 27 bulan.

Seingatku ia kerapkali merasa terpaksa tiap kali sekolah. Tentu saja ini tak bisa dipukul rata. Karena dari beberapa cerita orang tua ada juga anak mereka yang bahkan menanyakan kapan harus sekolah lagi ketika hari libur tiba. Kurasa anakku tidak termasuk tipe yang itu.

Puncaknya adalah setelah libur agak panjang setelah Hari Raya Idul Fithri. Anakku tambah enggan dan mogok sekolah. Ia suka ngambek tanpa alasan yang jelas. Kertas tugas yang disodorkan Bu Guru dikuwel-kuwel dan dicampakkannya dengan kasar.

Akhirnya aku dan ayahnya memutuskan untuk tidak memaksanya sekolah lagi. Pun tak lama kemudian, kami memang akan pindah rumah.

Di rumah baru selalu kutanya: “Alfath, mau sekolah lagi, nggak?” Yang selalu dijawabnya dengan ‘tidak’.

Umur 4 kurang sedikit ia kudaftarkan ke TPA di masjid komplek perumahan. Kebetulan ada anak tetangga yang lebih dulu masuk. Ada cerita sedikit mengenai anak tetangga ini. Ia lebih kecil dari Alfath. Selisih 2 tahun kira-kira. Mulai mengaji TPA ketika usianya 2,5 kurang. Yang aku tahu kemudian adalah anak ini setelah sekian bulan tak beranjak dari Iqro’ 1 halaman 2. Hampir seluruh catatan di kartu prestasi mengajinya tertulis ‘ULANG’. Mengapa demikian? Karena tiap mengaji ia belum bisa konsentrasi dan selalu tengok kiri kanan. Apakah anak ini bodoh? Kurasa gadis kecil itu tidak bodoh. Hanya umurnya saja belum memungkinnya untuk bisa berkonsentrasi mengaji dengan tekun. Rentang perhatiannya masih pendek.

Awal mengaji memang Alfath berteriak-teriak dan menangis histeris. Mungkin ia belum terbiasa dan belum merasa aman dan nyaman dengan lingkungan barunya. Tapi tak lama perkembangannya terlihat nyata. Maju sedikit demi sedikit dengan meyakinkan. Pelan tapi pasti.

Usia 4,5 kami daftarkan di TK Islam dekat rumah untuk tingkat TK A. Sekolahnya ini punya kebijakan ketat berkenaan kehadiran orang tua menemani anak di sekolah. Anak hanya boleh didampingi orang tua paling lama 1 minggu dalam masa adaptasi. Hari pertama tentu saja hampir semua orangtua menemani anaknya sampai kelas usai. Hari kedua orangtua sudah diminta pulang atau menunggu di luar sekolah. Kebetulan sekolahnya menempati lahan yang sempit dan terbatas. Hanya seukuran rumah.

Anakku termasuk yang merasa berat berpisah dengan ibunya dan menuntut agar aku selalu tampak di matanya. Ia menjerit hebat -dan parahnya disertai dengan mengata-ngatai guru- kala aku ‘dipaksa’ atau diminta dengan sangat oleh Bu Guru untuk menunggu di luar sekolah. “Biar saja Bu, biar kami yang tangani. Sudah biasa anak begini. Masa penyesuaian. Harus dididik untuk berani.” Demikian kira-kira ucapan Bu Guru. Memang benar. Tak lama ia jadi berani dan telah merasa nyaman dengan kelas dan teman-temannya.

Prestasi belajarnya termasuk papan tengah. Di sekolah ini, untuk tingkatan TK A belum diajari tulis baca, hanya sekedar pengenalan huruf. Persis seperti yang kami inginkan. Sekolah yang tidak memburu-buru anak dengan calistung. Karena toh, masih ada kesempatan lagi untuk belajar membaca di TK B.

Sayangnya, setelah satu semester dijalani, kami harus pindah rumah lagi mengikuti kepindahan tugas ayahnya ke Surabaya. Lagi-lagi Alfath kami daftarkan ke TK di sekitar rumah saja. Dibanding sekolah lama, rasanya TK yang ini kunilai lebih santai. Hampir tiap minggu ada jam pelajaran yang terpotong karena ada perayaan ulang tahun anak-anak di sekolah. Rasanya sudah tradisi anak-anak merayakan ulang tahun di sekolah. Meskipun acaranya biasanya hanya untuk teman sekelas. Dalam hal hafalan doa-doa dan surat-surat pendek, sekolah ini agak jauh tertinggal dibanding sekolah Alfath yang lama. Tapi ternyata, walau tampak santai, banyak juga pelajaran yang didapat di sekolah ini. Ini kuketahui setelah pada waktu pembagian ijazah dibagikan buku tugas yang selama ini dikerjakan di sekolah.

Up to this point, ketika lulus TK, Alfath sudah bisa membaca walaupun belum lancar benar. Ia masuk SD usia 6,5 tahun. Umur yang cukup matang dan pas untuk duduk di Sekolah Dasar. Ini terbukti kurasakan benar pada anakku. Tak lama, ia dapat membaca dengan lancar. Hampir tidak mengalami kesuliatan berarti dalam tiap mata pelajaran. Aku pun tidak begitu susah payah mengajarinya. Terakhir, ini yang memicuku untuk menulis ini, nilainya cemerlang dalam Ujian Akhir Semester Ganjil. Minimal dapat 88, yang lain di atas 90. Padahal aku merasa hanya menemaninya belajar seadanya saja. He’s far beyond my expectation. Alhamdulillah…