Tiga hari kemudian, aku mengirimkan balasannya…
Bismillahirrahmanirrahim
Depok, 10 Mei 2000
Untuk akhi fillah
Assalamualaikum wr wb
Segala puji hanya bagi Allah, Rabb Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Rabb Yang Mengetahui segala isi hati, dan membuat sebenar-benar perhitungan atas itu semua.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada qudwah hasanah kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan umatnya yang tetap setia hingga akhir zaman.
Sebelumnya saya ucapkan jazakallah khoiron katsiron kepada akhi yang bersedia mencurahkan sedikit perhatian dan waktu untuk ikut memikirkan masalah saya. Semoga segala upaya antum dibalasi oleh Allah dengan ganjaran yang berlipat ganda. Masukan dari antum, sungguh merupakan bahan pertimbangan yang berharga dalam pengambilan keputusan saya.
Saya saat ini sungguh berada dalam keadaan yang sangat berat. Saya harus mengambil keputusan yang konsekuensinya harus saya tanggung seumur hidup -bahkan di yaumil akhir nanti- dalam 2 minggu ini. Noer memberi saya batas waktu sampai 19 Mei ini untuk memberi jawaban yang pasti, yang tidak akan berubah-ubah lagi. Ini entah untuk keberapa kalinya dia memberi saya kesempatan, dan ini adalah kesempatan terakhir. Bila setelah ini saya masih menunjukkan ketidakpercayaan padanya, maka itu suatu pertanda bahwa memang ada ketidakcocokan antara kami.
Seorang akhwat sahabat saya berkata, ”Nggak ada gunanya kamu menanyakan tentang Noer pada orang lain. Nggak ada yang mengenal dia lebih daripada kamu mengenalnya.” Ternyata akhwat itu benar sekali. Setelah saya menanyakan pada beberapa orang, saya baru yakin akan hal itu. Praktis tidak ada hal baru yang saya dapati dari perbincangan-perbincangan itu. Noer telah menceritakan semua tentang dirinya secara gamblang dan jujur. Saya tahu semua tokoh tanpa nama yang antum ceritakan di MUI dulu (teman debatnya masalah filsafat, akhwat yang suka ngobrol dengannya). Dia tidak pernah menyembunyikan apapun pikiran atau pendapatnya yang bertentangan dengan saya. Saya tahu pendapat-pendapatnya yang kontroversial, misalnya tentang nikah mut’ah yang dia tidak menolaknya asal dengan persyaratan-persyaratan khusus (dalam keadaan perang dan tidak semata-mata hawa nafsu tanpa tanggung jawab. Dia sendiri meyakinkan saya tidak akan melakukan itu). Saya yakin dia tidak akan bertaqiyah. Suatu ajaran Syi’ah yang membolehkan bohong demi menyelamatkan diri.
Ada suatu kasus yang memberi pelajaran pada saya. Saya bertemu kebetulan dengan seorang ikhwan FE yang memang pembawaannya bersemangat/ berapi-api. Dengan gaya provokatifnya dia bilang bahwa ada makar, rekayasa, dan skenario besar dari pihak Syi’ah yang berkenaan dengan Noer. Karena kami waktu itu berada di tempat dan waktu yang tidak tepat (di halte FE ketika ramai), maka pembicaraan itu terputus begitu saja dengan sebuah janji bahwa ia akan menceritakan bukti dari asumsinya itu kepada kami (saya dan seorang akhwat lain). Saya menyimpan pertanyaan dan kekhawatiran yang begitu besar ketika itu. Saya membayangkan Noer memang menyembunyikan sesuatu dari saya. Hilang semua kepercayaan saya pada Noer. Keesokan harinya saya mencecarnya dengan semua tuduhan itu dalam surat tanpa memperoleh kejelasan terlebih dahulu dari akh tadi.
Beberapa hari kemudian, alhamdulillah kami bertiga berhasil bicara meskipun akh tadi adalah orang yang supersibuk. Dia bilang buku-buku Noer kebanyakan adalah buku-buku Syi’ah, sholatnya lurus, berdoanya dengan doa Kumail, dia suka ikut acara pengajian-pengajian Syi’ah, dia berusaha untuk menjadi tokoh di FE dengan aktif berbicara di acara pelatihan FSI & ISTI ’99 dengan tujuan menyebarkan Syi’ah.
Ketika saya tanya apakah dia pernah membaca / tahu isi doa Kumail (doa yang diajarkan Imam Ali ra. kepada Kumail bin Ziyad), dia bilang belum. Padahal doa itu sangat bagus dan tidak ada satu hal pun yang salah padanya.
Mengenai keaktifan Noer bertanya dalam forum-forum itu, saya rasa sangat berlebihan bila di-judge sebagai usaha untuk meng-establishkan dirinya supaya bisa menjadi tokoh. Padahal sebelumnya Noer pernah bilang bahwa keaktifannya itu adalah untuk mendorong peserta lain agar ikut aktif juga dan untuk menghidupkan suasana. Saya khawatir tuduhan yang jauh itu akan tergolong dalam perbuatan fitnah.
Mengenai fakta-fakta lainnya, ternyata itu sudah saya ketahui semua sebelumnya. Kasus itu suatu pelajaran berharga bagi saya untuk tidak langsung mempercayai perkataan apapun tentang Noer sebelum saya bertabayyun langsung padanya.
Pandangan orang tentang Noer begitu beragam. Ada yang mempermasalahkan posisi tangannya ketika sholat. Ada yang tidak mempermasalahkan itu, tapi menunjuk keikutsertaan Noer dalam peringatan ‘Asy-Syuro sebagai indikator kesyiahannya. Ada ikhwah lain yang jelas-jelas Sunni tidak mempermasalahkan, bahkan ikut serta juga dalam acara ‘Asy-Syuro itu. Tapi beliau lebih melihat kecenderungan Noer dari cara sholatnya. Bahkan ada anggota Majelis Syuro yang secara pribadi tidak keberatan sama sekali dengan Noer dan fikrohnya, tapi bermasalah dengan itu dalam konteks dia sebagai anggota MS.
Mengenai Syi’ah sendiri, insya Allah saya sudah membaca beberapa buku tentang ajaran itu. Memang banyak sekali bid’ah dalam Syi’ah. Tapi, seperti yang rasanya pernah saya bilang pada antum, saya perlu membedakan antara ajaran Syi’ah sesungguhnya, dengan ajaran Syi’ah yang memang dipegang oleh Noer. Sebagian orang Syi’ah mungkin mengkafirkan Abu Bakar ra. dan Umar ra., tapi Noer tidak. Sebagian orang Syi’ah mungkin punya pandangan aneh seperti antum bilang (bahwa Jibril as. telah salah alamat), tapi saya yakin Noer tidak memegang ajaran itu. Sebagian orang Syi’ah mungkin tidak sholat Jum’at, tapi Noer sholat Jum’at. Saya pikir pembedaan ini penting sekali karena yang akan menikahi saya adalah Noer, bukan orang-orang Syi’ah itu. Yang ingin Noer ambil dari Syi’ah adalah kecintaan mereka kepada keluarga Nabi, keunggulan mereka dalam filsafat, logika dan argumentasi. Yang kerapkali saya khawatirkan adalah sifat inklusivitasnya yang tidak bisa menolak ajaran Syi’ah di FE. Baginya itu adalah hak mereka juga. Sunni dan Syiah sama-sama berusaha menyebarkan fikroh mereka. Dalam hal ini saya punya pendapat lain. Ajaran Syi’ah yang tersebar pastinya adalah ajaran yang dipegang para aktivis Syi’ah. Kalau seseorang sudah tershibghoh ajaran itu maka hampir dapat dipastikan dia akan menjalankan praktek keagamaan sebagaimana yang diajarkan para da’i itu. Seperti meninggalkan Sholat Jum’at, mengejarkan sholat wajib dengan menjamak tanpa alasan, mengkafirkan shohabat, dll. Saya bilang pada Noer bahwa mereka –para objek dakwah itu- tidak cukup punya pengetahuan tentang Syi’ah seperti halnya dia, jadi saya sangat mendukung FSI yang mengambil langkah-langkah kebijakan untuk membatasi penyebaran Syi’ah. Di sinilah sikap Noer yang tidak saya setujui. Saya lalu merasa, secara politis kami berada di kubu yang berbeda. Saya juga khawatir dengan konsep kebenaran relatifnya. Baginya, suatu golongan sama sekali tidak berhak memonopoli kebenaran. Menurutnya, kita seharusnya tidak menutup diri dan berusaha mencari kebaikan dari golongan manapun, termasuk Syi’ah. Dia selalu memegang ucapan Imam Ali ra.: “Hikmah itu adalah kepunyaan mukmin yang tercecer maka ambillah ia walaupun dari orang-orang munafik.” Inilah sikap Noer yang cenderung tidak bisa menyalahkan siapapun dengan tindakan apapun asal punya dalil yang, menurut dia, jelas.
Membaca pertanyaan antum, saya jadi bertanya pada diri sendiri. Kalau saya akhirnya menerimanya, apakah itu suatu tanda ketidakikhlasan? Pun sebaliknya, bila saya menolaknya, apakah itu suatu tanda keikhlasan? Itulah yang jadi kebimbangan saya akhir-akhir ini. Saya khawatir keputusan saya untuk menerimanya sudah terkotori oleh hawa nafsu.
Saya telah memikirkan ini berulang-ulang. Saya tidak bisa menafikan ‘kekurangan-kekurangan’ Noer di atas. Tapi saya juga tidak bisa menafikan kebaikan-kebaikannya yang menurut saya jauh lebih banyak. Saya sering bertanya dalam hati, kalau saya menolaknya, apakah tidak akan berbuntut penyesalan di kemudian hari untuk menolak seorang yang akhlaknya begitu baik? Apakah keputusan yang tepat untuk menolak seorang yang berusaha menjaga kesucian dirinya dengan menyegerakan pernikahan, yang berusaha keras untuk mewujudkan itu, dan tidak sekadar berangan-angan kosong belaka? Idealisme pemuda seperti itulah yang kemudian membuat saya simpati padanya. Belum lagi kebaikan-kebaikannya yang lain. Dia adalah seorang yang punya semangat belajar yang tinggi, punya kepedulian pada orang lain, punya kecerdsan emosional dan konsep diri yang terinternalisasi dengan baik, punya kemampuan sosialisasi dan komunikasi yang baik, punya kepedulian pada dakwah ini juga meski mungkin dengan cara yang berbeda dengan kita. Dia ingin memberi sebesar-besar kemanfaatan dirinya bagi orang lain.
Saya kemudian bertanya lagi pada diri sendiri. Ya Allah, apakah cinta buta yang membuat saya bisa melihat kebaikan-kebaikannya dan menutup mata dari keburukan-keburukannya? Saya khawatir penilaian itu datang dari hawa nafsu saya. Maka datang lagi kebimbangan itu. Saya lalu berpikir untuk menolaknya. Lalu terlontar pertanyaan yang tadi kembali. Apakah tepat untuk menolak seorang yang berakhlak baik? Terus begitu lintasan pemikiran yang berkelebat dalam benak saya secara bergantian.
Saya sadar sekali, pada akhirnya memang keputusan ada di tangan saya karena saya sendirilah yang akan menjalaninya. Dan hakim yang paling adil adalah Allah. Saya berlindung pada-Nya dari kezaliman diri sendiri. Sesungguhnya saya tidak menginginkan kecuali seorang pendamping hidup yang dapat meluruskan dan meneguhkan saya di jalan Allah.
Saya akan menggunakan sisa-sisa hari ini untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh jawaban yang akan saya berikan pada Noer nanti. Bila saya menjawab ‘ya’, maka proses selanjutnya akan segera kami lakukan. Bila ada hambatan dari orang tua, insya Allah saya akan menyikapinya sebagai ketentuan dari Allah yang banyak kebaikan di dalamnya. Mungkin itulah cara Allah memperingatkan saya. Bila Allah memberi kemudahan, maka saya mohon kebaikan pula dalam perkara itu dan mohon perlindungan dari segala kejelekannya. Bila saya akhirnya berkecenderungan untuk menolak Noer, maka semoga itulah ilham yang dimasukkan Allah dalam hati saya dan semoga Allah menggantinya dengan seorang yang jauh lebih baik. Bila tidak di dunia, semoga kelak di akhirat.
Informasi tentang Noer rasanya sudah cukup. Kini tinggal saya memutuskan apakah bisa menerima dia apa adanya ataukah memilih untuk meninggalkannya karena tidak bisa menerima perbedaan-perbedaan itu.
Surat ini boleh akhi balas atau tidak. Sekali lagi syukron jazakallah khoiron katsiron atas tausyiah yang akhi berikan. Semoga Allah mencatatnya sebagai pahala yang memberatkan timbangan kebaikan antum di hari kiamat nanti. Mohon maaf atas segala kesalahan yang tidak berkenan di hati. Wallahu a’lam bishshowab.
Wassalamu’alaikum wr wb
Ukhtuka fillah,
Nurul Halida
Welwh,…welwh…beraattt…..
Hm, daku ga bisa komen banyak,Say…hanya takjub saja dengan apa yang dirimu untai dan publish di sini…
Suamiku mengatakan bahwa Mas Noer adalah satu dari sekian sahabat yang punya tempat di hatinya,punya pengalaman susah senang bersama selama masa2 kuliah….
Tapi seingatku, dia tak pernah mempersoalkan ke Syi’ah-annya…Barangkali karena si Uda sangat menghindari “penggolongan2”,atau karena memang dia tau siapa seorang M.Noer, jadi dia fine-fine aja….
Pernikahanmu yang tentram sudah membuktikan,dear…
(Insyaallah) Mas Noer lah yang terbaik untukmu,anak2mu,agamamu,dan hari akhir kelak. Amin….
Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dalam hidayahNya….
[WORDPRESS HASHCASH] The poster sent us ‘0 which is not a hashcash value.
Dulu rasanya semua begitu complicated. Sebagai seorang yg kental dengan nuansa pergerakan, sepertinya pertaruhan besar untuk memilih Mas jadi suami. Tapi alhamdulillah sekarang terbukti, apa yg kutakutkan dulu ternyata tidak berdasar. Aku menilainya tidak dengan pandangan orang lagi. Seperti kata hadits Nabi: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik akhlaknya kepada keluarga.” Insya Allah, Mas adalah yg terbaik untukku.