Archive for the Category ◊ My Marriage ◊

11 Mar 2009 Surat-Surat Itu… (3)
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | Leave a Comment

 

Dan teman tadi pun mengirimkan balasannya kembali. Intinya menyerahkan kembali segala putusan akhir ke tanganku.

 

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum wr wb

Alhamdulillah, puji syukur pada Allah, Rabb semesta alam yang telah melimpahkan ni’mat berupa iman dan Islam yang tiada taranya ini. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Ukhti fillah,

Waktu terus berjalan, tak terasa hari berlalu begitu cepat. Waktu untuk berpikir, merenung atau menentukan pilihan tentang masa depan anti tinggal beberapa hari lagi. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk-Nya ketika anti menentukan keputusan nanti.

Ukhti fillah,

Sebelumnya afwan, mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam surat saya kemarin terkesan menggurui. Saya percaya bahwa anti sudah paham/ tahu semua yang saya saya sampaikan pada kesempatan kemarin. Melihat, membaca surat yang anti tulis, saya tahu anti seorang yang sangat cerdas dan berpengetahuan luas, lebih pantas kalau anti menjadi ‘mentor’/ ‘murobbi’ saya.

Ukhti fillah,

Afwan kalau selama ini saya dan teman-teman (yang memberikan informasi) telah berlaku yang tidak berkenan di hati anti. Saya dan teman-teman hanya bisa berdoa semoga Allah selalu memberikan petunjuk-Nya kepada anti. Sekali lagi afwan, saya tidak bermaksud menggurui, Cuma mau menegaskan bahwa fikroh yang kita pegang saat ini adalah fikroh yang lurus. Percayalah akan hal itu, Ukhti!

Mungkin semua ini adalah cobaan dari Allah SWT, dan Allah tidak akan memberikan cobaan yang kita tidak mampu mengatasinya. Jagalah diri anti baik-baik, seringlah bertaqarrub kepada Allah. Jika anti membutuhkan bantuan, insya Allah, kami (saya dan teman-teman) akan membantu dengan segenap kemampuan yang kami miliki.

Semoga Allah selalu membimbing anti…

Wallahu a’lam bishshowwab, kebenaran hanya milik Allah, dan kesalahan dari saya sendiri.

Wassalamu’alaikum wr wb

Saudaramu,

Fulan

*I received this on 17th May, 2000.

02 Mar 2009 Surat-Surat Itu… (2)
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 2 Comments

 

Tiga hari kemudian, aku mengirimkan balasannya…

 

Bismillahirrahmanirrahim

Depok, 10 Mei 2000

Untuk akhi fillah

Assalamualaikum wr wb

Segala puji hanya bagi Allah, Rabb Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Rabb Yang Mengetahui segala isi hati, dan membuat sebenar-benar perhitungan atas itu semua.

Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada qudwah hasanah kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan umatnya yang tetap setia hingga akhir zaman.

Sebelumnya saya ucapkan jazakallah khoiron katsiron kepada akhi yang bersedia mencurahkan sedikit perhatian dan waktu untuk ikut memikirkan masalah saya. Semoga segala upaya antum dibalasi oleh Allah dengan ganjaran yang berlipat ganda. Masukan dari antum, sungguh merupakan bahan pertimbangan yang berharga dalam pengambilan keputusan saya.

Saya saat ini sungguh berada dalam keadaan yang sangat berat. Saya harus mengambil keputusan yang konsekuensinya harus saya tanggung seumur hidup -bahkan di yaumil akhir nanti- dalam 2 minggu ini. Noer memberi saya batas waktu sampai 19 Mei ini untuk memberi jawaban yang pasti, yang tidak akan berubah-ubah lagi. Ini entah untuk keberapa kalinya dia memberi saya kesempatan, dan ini adalah kesempatan terakhir. Bila setelah ini saya masih menunjukkan ketidakpercayaan padanya, maka itu suatu pertanda bahwa memang ada ketidakcocokan antara kami.

Seorang akhwat sahabat saya berkata, ”Nggak ada gunanya kamu menanyakan tentang Noer pada orang lain. Nggak ada yang mengenal dia lebih daripada kamu mengenalnya.” Ternyata akhwat itu benar sekali. Setelah saya menanyakan pada beberapa orang, saya baru yakin akan hal itu. Praktis tidak ada hal baru yang saya dapati dari perbincangan-perbincangan itu. Noer telah menceritakan semua tentang dirinya secara gamblang dan jujur. Saya tahu semua tokoh tanpa nama yang antum ceritakan di MUI dulu (teman debatnya masalah filsafat, akhwat yang suka ngobrol dengannya). Dia tidak pernah menyembunyikan apapun pikiran atau pendapatnya yang bertentangan dengan saya. Saya tahu pendapat-pendapatnya yang kontroversial, misalnya tentang nikah mut’ah yang dia tidak menolaknya asal dengan persyaratan-persyaratan khusus (dalam keadaan perang dan tidak semata-mata hawa nafsu tanpa tanggung jawab. Dia sendiri meyakinkan saya tidak akan melakukan itu). Saya yakin dia tidak akan bertaqiyah. Suatu ajaran Syi’ah yang membolehkan bohong demi menyelamatkan diri.

Ada suatu kasus yang memberi pelajaran pada saya. Saya bertemu kebetulan dengan seorang ikhwan FE yang memang pembawaannya bersemangat/ berapi-api. Dengan gaya provokatifnya dia bilang bahwa ada makar, rekayasa, dan skenario besar dari pihak Syi’ah yang berkenaan dengan Noer. Karena kami waktu itu berada di tempat dan waktu yang tidak tepat (di halte FE ketika ramai), maka pembicaraan itu terputus begitu saja dengan sebuah janji bahwa ia akan menceritakan bukti dari asumsinya itu kepada kami (saya dan seorang akhwat lain). Saya menyimpan pertanyaan dan kekhawatiran yang begitu besar ketika itu. Saya membayangkan Noer memang menyembunyikan sesuatu dari saya. Hilang semua kepercayaan saya pada Noer. Keesokan harinya saya mencecarnya dengan semua tuduhan itu dalam surat tanpa memperoleh kejelasan terlebih dahulu dari akh tadi.

Beberapa hari kemudian, alhamdulillah kami bertiga berhasil bicara meskipun akh tadi adalah orang yang supersibuk. Dia bilang buku-buku Noer kebanyakan adalah buku-buku Syi’ah, sholatnya lurus, berdoanya dengan doa Kumail, dia suka ikut acara pengajian-pengajian Syi’ah, dia berusaha untuk menjadi tokoh di FE dengan aktif berbicara di acara pelatihan FSI & ISTI ’99 dengan tujuan menyebarkan Syi’ah.

Ketika saya tanya apakah dia pernah membaca / tahu isi doa Kumail (doa yang diajarkan Imam Ali ra. kepada Kumail bin Ziyad), dia bilang belum. Padahal doa itu sangat bagus dan tidak ada satu hal pun yang salah padanya.

Mengenai keaktifan Noer bertanya dalam forum-forum itu, saya rasa sangat berlebihan bila di-judge sebagai usaha untuk meng-establishkan dirinya supaya bisa menjadi tokoh. Padahal sebelumnya Noer pernah bilang bahwa keaktifannya itu adalah untuk mendorong peserta lain agar ikut aktif juga dan untuk menghidupkan suasana. Saya khawatir tuduhan yang jauh itu akan tergolong dalam perbuatan fitnah.

Mengenai fakta-fakta lainnya, ternyata itu sudah saya ketahui semua sebelumnya. Kasus itu suatu pelajaran berharga bagi saya untuk tidak langsung mempercayai perkataan apapun tentang Noer sebelum saya bertabayyun langsung padanya.

Pandangan orang tentang Noer begitu beragam. Ada yang mempermasalahkan posisi tangannya ketika sholat. Ada yang tidak mempermasalahkan itu, tapi menunjuk keikutsertaan Noer dalam peringatan ‘Asy-Syuro sebagai indikator kesyiahannya. Ada ikhwah lain yang jelas-jelas Sunni tidak mempermasalahkan, bahkan ikut serta juga dalam acara ‘Asy-Syuro itu. Tapi beliau lebih melihat kecenderungan Noer dari cara sholatnya. Bahkan ada anggota Majelis Syuro yang secara pribadi tidak keberatan sama sekali dengan Noer dan fikrohnya, tapi bermasalah dengan itu dalam konteks dia sebagai anggota MS.

Mengenai Syi’ah sendiri, insya Allah saya sudah membaca beberapa buku tentang ajaran itu. Memang banyak sekali bid’ah dalam Syi’ah. Tapi, seperti yang rasanya pernah saya bilang pada antum, saya perlu membedakan antara ajaran Syi’ah sesungguhnya, dengan ajaran Syi’ah yang memang dipegang oleh Noer. Sebagian orang Syi’ah mungkin mengkafirkan Abu Bakar ra. dan Umar ra., tapi Noer tidak. Sebagian orang Syi’ah mungkin punya pandangan aneh seperti antum bilang (bahwa Jibril as. telah salah alamat), tapi saya yakin Noer tidak memegang ajaran itu. Sebagian orang Syi’ah mungkin tidak sholat Jum’at, tapi Noer sholat Jum’at. Saya pikir pembedaan ini penting sekali karena yang akan menikahi saya adalah Noer, bukan orang-orang Syi’ah itu. Yang ingin Noer ambil dari Syi’ah adalah kecintaan mereka kepada keluarga Nabi, keunggulan mereka dalam filsafat, logika dan argumentasi. Yang kerapkali saya khawatirkan adalah sifat inklusivitasnya yang tidak bisa menolak ajaran Syi’ah di FE. Baginya itu adalah hak mereka juga. Sunni dan Syiah sama-sama berusaha menyebarkan fikroh mereka. Dalam hal ini saya punya pendapat lain. Ajaran Syi’ah yang tersebar pastinya adalah ajaran yang dipegang para aktivis Syi’ah. Kalau seseorang sudah tershibghoh ajaran itu maka hampir dapat dipastikan dia akan menjalankan praktek keagamaan sebagaimana yang diajarkan para da’i itu. Seperti meninggalkan Sholat Jum’at, mengejarkan sholat wajib dengan menjamak tanpa alasan, mengkafirkan shohabat, dll. Saya bilang pada Noer bahwa mereka –para objek dakwah itu- tidak cukup punya pengetahuan tentang Syi’ah seperti halnya dia, jadi saya sangat mendukung FSI yang mengambil langkah-langkah kebijakan untuk membatasi penyebaran Syi’ah. Di sinilah sikap Noer yang tidak saya setujui. Saya lalu merasa, secara politis kami berada di kubu yang berbeda. Saya juga khawatir dengan konsep kebenaran relatifnya. Baginya, suatu golongan sama sekali tidak berhak memonopoli kebenaran. Menurutnya, kita seharusnya tidak menutup diri dan berusaha mencari kebaikan dari golongan manapun, termasuk Syi’ah. Dia selalu memegang ucapan Imam Ali ra.: “Hikmah itu adalah kepunyaan mukmin yang tercecer maka ambillah ia walaupun dari orang-orang munafik.” Inilah sikap Noer yang cenderung tidak bisa menyalahkan siapapun dengan tindakan apapun asal punya dalil yang, menurut dia, jelas.

Membaca pertanyaan antum, saya jadi bertanya pada diri sendiri. Kalau saya akhirnya menerimanya, apakah itu suatu tanda ketidakikhlasan? Pun sebaliknya, bila saya menolaknya, apakah itu suatu tanda keikhlasan? Itulah yang jadi kebimbangan saya akhir-akhir ini. Saya khawatir keputusan saya untuk menerimanya sudah terkotori oleh hawa nafsu.

Saya telah memikirkan ini berulang-ulang. Saya tidak bisa menafikan ‘kekurangan-kekurangan’ Noer di atas. Tapi saya juga tidak bisa menafikan kebaikan-kebaikannya yang menurut saya jauh lebih banyak. Saya sering bertanya dalam hati, kalau saya menolaknya, apakah tidak akan berbuntut penyesalan di kemudian hari untuk menolak seorang yang akhlaknya begitu baik? Apakah keputusan yang tepat untuk menolak seorang yang berusaha menjaga kesucian dirinya dengan menyegerakan pernikahan, yang berusaha keras untuk mewujudkan itu, dan tidak sekadar berangan-angan kosong belaka? Idealisme pemuda seperti itulah yang kemudian membuat saya simpati padanya. Belum lagi kebaikan-kebaikannya yang lain. Dia adalah seorang yang punya semangat belajar yang tinggi, punya kepedulian pada orang lain, punya kecerdsan emosional dan konsep diri yang terinternalisasi dengan baik, punya kemampuan sosialisasi dan komunikasi yang baik, punya kepedulian pada dakwah ini juga meski mungkin dengan cara yang berbeda dengan kita. Dia ingin memberi sebesar-besar kemanfaatan dirinya bagi orang lain.

Saya kemudian bertanya lagi pada diri sendiri. Ya Allah, apakah cinta buta yang membuat saya bisa melihat kebaikan-kebaikannya dan menutup mata dari keburukan-keburukannya? Saya khawatir penilaian itu datang dari hawa nafsu saya. Maka datang lagi kebimbangan itu. Saya lalu berpikir untuk menolaknya. Lalu terlontar pertanyaan yang tadi kembali. Apakah tepat untuk menolak seorang yang berakhlak baik? Terus begitu lintasan pemikiran yang berkelebat dalam benak saya secara bergantian.

Saya sadar sekali, pada akhirnya memang keputusan ada di tangan saya karena saya sendirilah yang akan menjalaninya. Dan hakim yang paling adil adalah Allah. Saya berlindung pada-Nya dari kezaliman diri sendiri. Sesungguhnya saya tidak menginginkan kecuali seorang pendamping hidup yang dapat meluruskan dan meneguhkan saya di jalan Allah.

Saya akan menggunakan sisa-sisa hari ini untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh jawaban yang akan saya berikan pada Noer nanti. Bila saya menjawab ‘ya’, maka proses selanjutnya akan segera kami lakukan. Bila ada hambatan dari orang tua, insya Allah saya akan menyikapinya sebagai ketentuan dari Allah yang banyak kebaikan di dalamnya. Mungkin itulah cara Allah memperingatkan saya. Bila Allah memberi kemudahan, maka saya mohon kebaikan pula dalam perkara itu dan mohon perlindungan dari segala kejelekannya. Bila saya akhirnya berkecenderungan untuk menolak Noer, maka semoga itulah ilham yang dimasukkan Allah dalam hati saya dan semoga Allah menggantinya dengan seorang yang jauh lebih baik. Bila tidak di dunia, semoga kelak di akhirat.

Informasi tentang Noer rasanya sudah cukup. Kini tinggal saya memutuskan apakah bisa menerima dia apa adanya ataukah memilih untuk meninggalkannya karena tidak bisa menerima perbedaan-perbedaan itu.

Surat ini boleh akhi balas atau tidak. Sekali lagi syukron jazakallah khoiron katsiron atas tausyiah yang akhi berikan. Semoga Allah mencatatnya sebagai pahala yang memberatkan timbangan kebaikan antum di hari kiamat nanti. Mohon maaf atas segala kesalahan yang tidak berkenan di hati. Wallahu a’lam bishshowab.

Wassalamu’alaikum wr wb

Ukhtuka fillah,

Nurul Halida

14 Feb 2009 Surat-Surat Itu… (1)
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 2 Comments

Tak banyak orang tahu, betapapun mulus tampaknya proses pernikahanku, pergolakan batin di balik itu sungguh menguras emosi dan pikiranku. Keputusanku untuk memilih Mas sebagai pendamping hidup, bukanlah keputusan ringan yang bisa kuambil dalam tempo semalam. Beberapa orang yang kunilai cukup dekat dengannya dan bisa memberi pertimbangan secara fair dan jujur mulai kumintai informasi dan pendapat. Tentu saja, dalam perkara yang maha penting seperti ini, aku tak mau salah langkah dalam memilih.

Setelah surat lamaran yang Mas ajukan, aku mulai ‘mendekati’ beberapa orang yang kurasa layak menjadi nara sumberku. Aku sampai mengesampingkan rasa maluku sebagai gadis yang dikenal sangat pendiam, untuk mencari tahu secara pribadi baik secara lisan ataupun tulisan, mengenai pribadi calon suamiku secara lebih mendalam.

Kalau dihitung-hitung, kira-kira 8 bulan waktu yang kubutuhkan sejak ia mem-propose ku, hingga aku akhirnya memberi kata putusan untuk dengan rela dan ikhlas menerimanya sebagai suamiku. Mungkin terlalu lama bagi sebagian orang yang berpendapat bahwa proses pernikahan haruslah berjalan cepat untuk menghindari fitnah. Tapi apa mau dikata, memang begitulah jalan hidupku berlaku, aku tidak pernah merancangnya agar menjadi demikian, tapi tidak pernah sekali-kali juga aku menyesalinya. Aku menerimanya sepenuh hatiku. Semuanya itu dihadirkan dalam hidupku pasti atas izin Allah Ta’ala.

Figur Mas yang menurut sebagian orang cukup kontroversial memang memusingkanku sebagai seorang gadis yang warna hidupnya kental dengan nuansa pergerakan. Ia unik dengan gayanya sendiri. Yang menurutku agak susah untuk dikategorikan dalam golongan tertentu. Surat di bawah ini baru awalan. Sebaiknya teman-teman tidak men-judge apa-apa sebelum membaca respon balasanku di surat selanjutnya. Untuk melindungi nara sumber, namanya tak kucantumkan di sini. Mohon maaf bila ada pihak-pihak yang tersinggung. Aku sungguh tak bermaksud menyinggung siapapun di sini. Ini adalah cerita masa lalu. Yang terpenting sekarang adalah Mas telah menjadi Imam yang kuhormati dalam rumah tanggaku yang telah terbangun selama kurun waktu 8 tahun ini.

Depok, 7 Mei 2000

BismiLlahirrahmaanirrohim

Assalamualaikum warohmatuLlohi wa barokaatuh

Segala puji bagi Allah, robb semesta alam yang telah melimpahkan ni’matnya berupa iman dan Islam yang tiada taranya ini serta ni’mat hidayat yang tidak semua orang mendapatkannya. Sholawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita, qudwah ummat manusia sedunia Rasululloh SAW beserta keluarga, shohabat, serta pengikutnya yang mengikutinya hingga akhir zaman.

Pada ukhti Nurul, semoga Allah selalu membimbing anti ke jalan-Nya, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena pada hari Ahad lalu (7/5/2K) tidak dapat menelepon anti, ada amanah yang tidak dapat saya tinggalkan serta terima kasih, syukron jazakallah kepada **** yang telah menyampaikan pesan saya sama anti.

Ukhti Nurul yang dicintai Allah, dalam surat ini saya ingin memberikan sedikit informasi mengenai permasalahan yang anti hadapi, juga (afwan) tausiyah bagi diri saya sendiri khususnya dan sebagai bahan pertimbangan bagi anti dalam bersikap.

Saya selama ini mencoba mencari informasi mengenai bagaimana sebenarnya fikroh dari saudaraku M. Noer setelah beberapa minggu yang lalu, anti mencoba menceritakan permasalahan yang anti hadapi kepada saya. Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman dekatnya, (afwan) M. Noer memang memiliki kecenderungan ke arah Syi’ah walaupun tidak secara utuh dia ke Syi’ah namun kecenderungan itu dominan sekali. Beberapa bukti pernah saya ceritakan langsung sama ukhti di mesjid beberapa waktu lalu, termasuk usahanya menyebarkan/mengedarkan poster mengenai hari Asy-Syuro yang merupakan salah satu ritualitas dari golongan Syi’ah. Satu hal mungkin perlu saya ulangi, bahwa Syi’ah telah menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jama’ah, yang begitu mengagung-agungkan Ali ra. hingga berada pada suatu kesimpulan bahwa yang menjadi Nabi/Rasul itu seharusnya Imam Ali. Jibril as, telah melakukan kesalahan dalam menyampaikan wahyu-Nya. Dan sederet bid’ah-bid’ah yang mungkin tidak dapat saya sebutkan di sini.

Ukhti Nurul, semoga Allah merohmatimu, akhirlah sampailah saya pada suatu kesimpulan bahwa kecenderungan Syi’ah memang ada pada diri saudaraku M. Noer walaupun bisa saja hal tersebut tidak benar, tetapi realita yang ada menunjukkan hal demikian. Saya beristighfar, memohon ampun kepada Allah jika saya salah dalam menilainya karena saya adalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kesalahan. Segala kebenaran itu datangnya hanya dari Allah dan kesalahan adalah dari diri kita sendiri sebagai insan yang dhoif.

Ukhti Nurul yang dicintai Allah (insya Allah), ketika seorang manusia bersyahadat, maka ibaratkan Islam itu adalah suatu bangunan rumah yang kokoh, syahadat adalah pintu untuk memasuki rumah tersebut. Kita ini ibarat tamu di rumah tersebut dan harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan di rumah yang bernama Islam tersebut.

Ukhti fillah, jika kita menengok kembali ke masa Rosululloh SAW, kita kenal Sa’ad bin Abi Waqosh, kita tahu Mus’ab bin Umair, kita dengar kebesaran Khalid bin Walid. Bagaimana mungkin Sa’ad bin Abi Waqosh yang telah bersyahadat berani berkata kepada ibunya, “Seandainya ibu memiliki 100 (seratus) nyawa dan keluar satu per satu dari tubuh ibu, niscaya tidak akan menghalangiku untuk memegang teguh dien yang haq ini.” jika tidak semua itu dilandasi oleh kecintaannya kepada Allah. Generasi-generasi itu telah menjual diri dan harta mereka kepada Allah (At-Taubah: 110).

Saya terkesan dengan perkataan Imam Asy-syahid Hasan Al-Banna, “Kami bangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan, dan terwujudnya cita-cita mereka.” Kata-kata itu menunjukkan suatu makna yang implisit, cukuplah Allah dan Rosulnya bagi kami. Hal itu menunjukkan betapa kuan syahadat itu menghunjam dalam dada mereka.

Ukhti fillah, pernikahan adalah suatu jenjang yang akan dilewati oleh manusia (jika Allah menghendaki). Mitsaqon Gholizho, istilah itulah yang dipakai Allah untuk menggambarkan betapa sakralnya ikatan perkawinan itu. Bahkan istilah itu hanya tercantum tiga kali di Al-Qur’an yang salah satunya adalah masalah ikatan perkawinan tersebut.

Ukhti fillah. Marilah kita coba berpikir ke depan kepada generasi-generasi penerus kita/ anak-anak kita nanti. Da’wah di negeri ini adalah suatu proses yang amat panjang yang tidak cukup diselesaikan oleh generasi kita. Anak-anak kita nanti yang akan mengambil tongkat estafet da’wah dari kita begitu seterusnya. Ukhti, anti sebagai orang yang paham akan Islam diharapkan akan melahirkan jundi-jundi baru yang akan meneruskan tongkat estafet generasi kita saat ini, yang akan melahirkan Sa’ad bin Abi Waqosh2 baru, Mus’ab bin Umair2 baru, Khalid bin Abi Walid2 baru, ataupun Hasan Al-Banna2 baru. Karena itu diperlukan aqidah yang bersih dan lurus dari orang tuanya. Saya tidak bisa menjamin apakah anti mampu mempertahankan aqidah anti yang lurus ketika pendamping anti ternyata telah melenceng dari aqidah yang lurus itu. Bagaimana pula dengan anak-anak anti nanti? Mampukah mereka survive dari fikrah-fikrah yang menyimpang itu? Hidayah itu mahal harganya, Ukhti! Pertahankanlah dengan segenap daya dan upaya yang anti miliki.

Ukhti fillah, satu pertanyaan yang ingin saya ajukan sama anti dan jawablah dari hati nurani anti yang paling dalam dan cukup jawaban itu hanya anti yang mengetahui. Jika ternyata ia pada akhirnya tidak menjadi suami anti, ikhlaskah anti, Ukhti? Hanya anti yang tahu jawabannya. Jikalau anti tidak bisa menerima hal itu, maka sudah pasti nafsu telah menyelimuti hati anti. Percayalah kepada skenario Allah, insya Allah itu adalah yang terbaik. Pada akhirnya kebenaran itu datangnya hanya dari Allah. Percayakan segala keputusan kepada Allah dengan Sholat Istikhoroh. Sholat Istikhoroh ini tidak cukup hanya sekali saja, tapi dengan istimroriyah (continue) hingga Allah memberikan/ memberitahukan keputusan-Nya kepada anti, baik itu lewat kemantapan hati, mimpi, perantaraan teman, dsb. Insya Allah informasi dari Allahlah yang dapat kita percaya, yang dapat anti percaya daripada saya atau teman-teman yang lain.

Segala keputusan di dunia ini akhirnya anti lah yang harus memilih. Afwan sebelumnya, tolong berhati-hatilah dalam mengambil keputusan. Pertimbangkanlah secara matang, bagaimana aqidah anti nantinya (hidayah itu mahal harganya dan susah untuk mendapatkannya), bagaimana nasib anak-anak anti nantinya. Ingatlah bahwa dunia ini adalah kenikmatan yang semu. Mata saya selalu berkaca-kaca ketika membaca ni’matnya pertemuan dengan Allah di syurga. Menatap langsung Wajah Yang Agung. Mungkinkah saya juga akan merasakannya? Rasanya jauh sekali saya dari orang-orang yang mendapat kenikmatan itu. Tapi saya sangat yakin bahwa fikrah yang saya pegang sekarang ini adalah yang lurus, fikrah yang anti pegang sekarang ini adalah yang lurus, dan insya Allah akan memepertemukan kita dengan Allah, menatap Wajah-Nya Yang Agung.

Jika engkau bertanya tentang hari di mana ahli syurga mendapat kenikmatan tambahan, dengarlah saat terdengar suara penyeru, “Wahai ahli syurga, sesungguhnya Allah masih mempunyai janji yang akan ditepati-Nya kepada kalian hari ini.“ Mereka bertanya, “Apa janji-Nya? Bukankah Dia telah memutihkan wajah-wajah kami, memberatkan timbangan-timbangan kami, memasukkan ke dalam syurga dan menghindarkan kami dari neraka?” Di saat mereka bertanya-tanya demikian itu, tiba-tiba muncul di hadapan mereka yang cahaya menerangi seluruh kawasan syurga. Mereka menengadahkan wajah-wajahnya, dan Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Suci Nama-nama-Nya telah berada di atas mereka dan berfirman, “Wahai ahli syurga, salamun ’alaikum!” (Kesejahteraan untuk kalian). Tidak ada ucapan yang lebih baik untuk menjawab salam ini selain ucapan, “Allahumma antassalaam wa minkassalaam tabaarokta ya dzal jalaali wal ikraam.” Kemudian Allah berfirman, “Mana hamba-hamba-Ku yang taat kepada-Ku padahal mereka tidak melihat-Ku?” Inilah hari di mana mereka mendapat kenikmatan tambahan, mereka bersatu dalam 1 ucapan, “Kami telah ridha, maka ridhailah kami.” Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, jika Aku tidak ridha kepada kalian, maka tidaklah Aku masukkan kalian ke dalam syurga-Ku. Inilah hari tambahan kenikmatan, maka mintalah kepada-Ku!” Mereka pun bersatu dalam keinginan yang sama, “Wahai Tuhan kami, tunjukkan kepada kami Wajah-Mu hingga kami bisa melihat-Nya!” Maka Allah pun membuka tabir dan menunjukkan Wajah-Nya kepada mereka, dan mereka pun terpesona dengan cahaya-Nya, yang apabila Allah Azza wa Jalla tidak mentakdirkan mereka untuk kuat melihat-Nya, tentulah mereka akan terbakar. Maka tiada seorang pun dalam tempat itu, kecuali benar-benar telah barhadapan langsung dengan Tuhan mereka. Betapa nikmat pertemuan dengan Allah sedemikian rupa, betapa berserinya bola mata manusia di saat melihat kepada Wajah Yang Maha Mulia di akhirat. Mungkinkah kita akan mendapatkannya ukhti? Semua itu kembali kepada aqidah yang lurus, yang bersih dari segala noda dan nafsu manusia. Insya Allah, fikrah yang kita yakini saat ini, aqidah yang kita pegang teguh ini, akan mampu menghantarkan kita ke syurga-Nya, asal kita istiqomah dalam keyakinan itu.

Afwan jika ada kesalahan dalam diri saya, ataupun kata-kata yang kurang berkenan di hati anti, Ukhti. Kebenaran datangnya dari Allah dan kesalahan dari diri saya sendiri sebagai manusia biasa yang memiliki banyak kelemahan. Wallahu a’lam bish showab.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Dari saudaramu

**********

NB: Sekali lagi afwan jika saya telah lancang dalam berkata-kata dalam surat ini. Syukron jazakallah!

06 Aug 2008 Cerita Lama tentang Aku dan Dia
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 9 Comments

Waduh, orang melankolis ekstrim kayak aku gini memang paling suka meretas jalan kenangan. Kenangannya cuma sepanjang jalan itu, tapi diudek-udek terus dihilir-mudiki bolak-balik. Entah kenapa, ada perasaan hangat menjalari setiap mengingatinya. Yang ini masih cerita lama. Tadi kok iseng baca-baca, dan sepertinya lumayan menarik untuk ditulis di blog. Daripada hilang ketika diary nya lapuk dimakan usia atau dimakan rayap. Yang ini bener-bener ditulis seada-adanya. An uncut version.

Tadi gue ketemu ma’ Firman dan Imam. Gue ceritain aja masalah gue (Nggak tau deh seharusnya boleh apa nggak?)

Pusing deh ih pusing! Gimana kelanjutannya hubungan gue sama Noer. Susah juga kalo the trouble maker temen sekampus. Temen satu profesi, pula!

Dia sih kayaknya nyantai-nyantai aja. Gue sendiri kali yang kelimpungan. Perasaan kanan-kiri salah. Kalo gue keseringan ngobrol pasti bakal dicap ada apa-apanya. Dan ini bakal jadi preseden buruk bagi FSI. Lho, anak FSI kok pacaran?

Kalo nggak, kok ya gue merasa sayang banget gitu. Kayaknya banyak banget yang bisa gue dapet dari pertemanan gue dengan Noer. Gue bisa meniru dan belajar banyak hal ttg keoptimisannya dia, tentang rencana-rencana ajaibnya, tentang tips-tips belajarnya, tentang pemikiran-pemikirannya yang terkadang agak ‘aneh’ dan melangit, tentang macam-macam pengetahuannya dari hasil pengeksplorasian berbagai buku, termasuk juga tentang kepeduliannya untuk membagi Islam ini pada semua. Gue akan merasa sangat kehilangan ini semua kalo menjauh darinya. Tapi gue juga mafhum benar akan rentannya hati ini dari serbuan penyakit yang dapat melalaikan. Sementara gue anggap ngobrol sama dia membawa kebaikan, padahal ternyata Allah benci banget sama perbuatan ini. Jangan-jangan alasan-alasan di atas sekedar pelegitimasian dari pengumbaran hawa nafsu yg nggak terkekang?

So, what could be the best solution?

Gue udah mesti sholat istikhoroh nggak ya?

Noer pernah bilang langsung ke gue kalo dia udah siap dan lagi nyari akhwat yg siap. He asked my opinion about getting marry. Sesuatu yang tadinya begitu jauh dari pikiran gue tapi sekarang sering jadi hal yang gue jajaki kemungkinan terjadinya. Dia bilang tinggal nyari kerjaan. Dia tanya, menurut Nurul gimana? Ya, gue jawab aja pake teori di buku: harus disegerakan tapi jangan tergesa-gesa. Kesulitan mungkin ada tapi jangan disulit-sulitkan. Nungguin gelar termasuk menyulit-nyulitkan nggak,ya? NURUL HALIDA, SE. Wisuda lalu bekerja. Suatu bayangan cerah orang tua akan masa depan anak. Apa mesti begitu? Apa kaya dan bahagia cuma bisa didapat lewat jalur itu? Tak bisakah misalnya, kami berjuang sama-sama dalam naungan ridho Allah krn ikatan yg syah, lalu memulai segala-galanya dari bawah? Entah kenapa gue merasa dia somehow akan berhasil karena keoptimisannya, karena tekad kuatnya, dan karena kelurusan niatnya.

Dia berniat menyegerakan untuk menjaga diri bukan, ya Allah? Hatiku terkesan karena itu. Ia mau bekerja keras dan menabung demi menyegerakan niat baiknya.

Aku baru 18. Belum cukup umur kata orang. Meski sebenarnya kedewasaan tidak semata-mata ditentukan dari umur.

Selasa, 24 Agustus 1999

Background

Ini nulisnya waktu Mas belum menyatakan terang-terangan nih. Udah mulai pdkt tapi belum eksplisit bilang. Jadi masih meraba-raba maksud dia dan ga mau ke GR an duluan. (See posting: 7 September, 8 Tahun Lalu).

Btw, karena sebaya, dulu aku manggil dia by his name only. Tanpa "MAS". Beberapa bulan sebelum nikah he insist me to call him Mas Noer. Tapi aku ga bisa. Bener-bener kagok. Kayaknya kerongkongan seperti tercekat. Kupikir ketika sudah sah sebagai istri nanti pasti otomatis langsung bisa. Kedua kalinya dia nyuruh pas mamanya datang. Seingatku bulan Desember 2000. Tapi tetep belum bisa. Kadang-kadang bisa sesekali, tapi keseringan lupa nya. Intinya masih sungkan banget lah. Jadi tetep bandel dan ngeyel tuh manggil namanya aja. Bukan maksud hati untuk nantang. Tapi memang ga bisa karena ga biasa. Ternyata sodara-sodara, di suatu malam di rumah teman ketika kita lagi merancang undangan nikah berdua, dia serius bicara dengan tampang yang tegas dan galak: "Jangan panggil Noer, panggil nya  Mas!!!" Oalah, langsung pias deh aku diseriusin dengan bentakan dan diultimatum gitu. Ga pernah-pernahnya aku liat wajahnya sesyerem itu. Mungkin karena dia udah geregetan juga kali ya, ni anak udah dibilangin beberapa kali kok ga ngerti-ngerti juga. Udah nyaris banget mo nikah (sekitar Jan 2001) masih manggil calon suami dengan namanya thok. Kesannya kurang berwibawa dan kurang respek. Setelah itu aku langsung diam dan ga banyak omong lagi. Ajaibnya, setelah dishock therapy gitu, baru deh besokannya lancar manggil Mas Noer :))

22 Jun 2008 Memulai dengan Sederhana
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 3 Comments

Di usia matang begini, hampir semua teman sebayaku telah menikah. Mungkin hanya satu dua saja yang belum menuntaskan masa lajang. Ada berbagai macam alasan yang dikemukakan, tapi mungkin yang terutama adalah belum menemukan pasangan yang pas untuk dijadikan teman seumur hidup. Aku mengerti akan hal ini dan sangat sepakat bahwa kita jangan sekali-kali memaksakan menikah dengan seseorang yang belum sreg di hati hanya karena desakan umur. Salah memilih pasangan itu berujung penyesalan seumur hidup. Tapi bagi yang sudah menemukan pasangan hati, kenapa takut untuk menyegerakan pernikahan? Ada yang khawatir tidak dapat menafkahi keluarga dengan layak nantinya, ada pula yang dipusingkan dengan masalah yang lebih dekat yaitu penyelenggaraan pernikahan itu sendiri.

Aku kadang merasa beruntung memulai semua ini lebih awal. Saat belum punya apa-apa. Saat belum jadi apa-apa. Sehingga tidak punya gengsi yang harus dijaga karena memang tidak ada yang layak disombongkan. Kami menikah ala mahasiswa. Karena pionir, maka tidak ada benchmarkingnya. Kami masih kere tapi ya teman-teman juga ga kalah kere 😀 Malah kuingat ada yang memberi ucapan begini kira-kira: "Sorry Noer, di dompet gue cuma ada duit segini-gininya, lumayan buat beli garem kan?" Hihi…hayo siapa yang ngerasa dulu nulis gini, kartu ucapannya masih gw simpen loh…*Emang cukup kok buat beli garem berkilo-kilo… :)) *

Coba bandingkan dengan teman-teman yang nikah setelah kerjaan pada mapan semua. Pasti lebih banyak hal yang jadi pertimbangan kan? Kalo yang levelnya high standard pasti ga sreg dan ga cukup PD kalo ngadain pesta resepsi di rumah aja. Paling nggak nyewa gedung. Alhamdulillah kalo ortu orang berpunya, kalo nggak kan mesti nabung dulu tuh dari hasil kerja keras sendiri. Bisa makan waktu bertahun-tahun sampai akhirnya tabungan mencukupi buat biaya nikah.

Menurutku ada dua sudut pandang berkenaan masalah ini. Ada yang mikirnya gini: "Ah, acaranya sederhana aja. Toh resepsi itu cuma acara sehari. Mending uangnya ditabung untuk kebutuhan setelah menikah." Tapi ada juga yang memandang sebaliknya: " Ah, menikah itu kan sekali seumur hidup ya harus abis-abisan donk sampai puoollll…" Again, it’s OK kalo memang kemampuannya ada. Yang repot kalo harus memaksakan diri apalagi sampe minjem kanan kiri. Kalo istilahnya orang Betawi Setu Babakan: "Biar Tekor Asal Kesohor". Kalo perlu nanggep dangdut 3 hari 3 malem. Haha…

Namanya manusia, pasti punya hasrat untuk menilai dan membanding-bandingkan. Kalo yang mindsetnya people oriented bukan Allah oriented pasti gede gengsinya dan mau serba paling  sendiri: pokoknya ‘paling wah’, ‘paling hebat’, ‘paling meriah’. Syukur-syukur kalo pernikahannya awet langgeng. Kalo cuma seumur jagung…? Wah, sayang betul…Betul-betul sayang…

Jadi buat teman-temanku yang belum atau akan menikah, jangan ditunda-tunda yah, hanya karena pusing masalah pestanya. Insya Allah kesederhanaan acara tidak mengurangi berkahnya.

I’d like to end this topic dengan ucapan penuh hikmah Baginda Nabi SAW kepada Ali ra:" Hai Ali, ada tiga perkara yang jangan kamu tunda-tunda pelaksanaannnya, yaitu sholat apabila tiba waktunya, jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila telah menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya." (HR.Ahmad)

Dalam hadits lain:"Sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan mas kawinnya." (HR. Athabrany)