Archive for the Category ◊ My Marriage ◊

28 Sep 2007 Being With You
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 5 Comments

Friday, August 10, 2007, 01.29

Bersamanya aku bagai di puncak tertinggi dunia. Tak ada lagi yang dilihat
di atas kecuali langit luas yang tak terbatas. Tak ada lagi yang bisa didaki
karena telah sampai di ujung pencapaian.

Bersamanya aku bagai berteduh di pohon rindang besar. Di bawah dahan lengan
yang kokoh. Di bawah rimbun daun kasih sayang yang teduh. Di antara gombolan
buah kebijaksanaan yang menyegarkan. Aman. Damai. 

Kedekatan itu ibarat magnifying glass
yang bisa memperjelas baik dan buruk sesuatu. Bila hidup sedemikian lama dengan
seseorang, dan tidak menemui cela berarti padanya, maka memang demikian adanya.

Aku menemukanmu sebagai imbangan yang sangat pas. Dalam segala hal. Tidak
keras tapi tegas. Punya prinsip tapi kompromistis. Bervisi tapi realistis. And
many more. Mengurainya hanya membuatku berurai air mata. Air mata haru dan
bahagia.

I’ve been blessed so much by
you…

06 Sep 2007 7 September, 8 Tahun Lalu
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 7 Comments

Seingatku hari itu Selasa, 7 September 1999. Aku baru hendak masuk ke kelas Bahasa Indonesia yang akan dimulai pukul 2, ketika ia menyodorkan sebuah surat bersampul coklat kepadaku. ‘Buat Sahabatku Nurul Halida’.
‘Apa ini?’ tanyaku.
‘Baca aja sendiri’
Aku lantas bergegas ke Gedung B, di mana kelasku berada. Setelah mendapat tempat duduk di belakang di kelas besar itu, dengan rasa tak sabar yang meluap-luap aku segera merobek sampul surat itu dan membaca isinya. Dan ternyata dugaanku tak meleset! Meski tak ingin merasa GR duluan, tapi aku punya feeling akan ke arah sanalah isi surat ini menuju.


    Setelah merenung sekian lama, aku berkesimpulan bahwa aku harus menyegerakan pernikahan. Semakin lama aku menundanya, semakin besar peluangku untuk jatuh dalam kemaksiatan. Aku ingin menjaga kehormatan diriku melalui pernikahan.
    Akhirnya aku sadar hal itu perlu persiapan yang matang. Banyak hal yang harus dilakukan sebelumnya. Dan aku juga sadar, untuk beberapa hal aku belum punya persiapan. Namun, aku yakin, jika apa-apa yang kulakukan demi mencapai keridhoan Allah, pasti Allah akan membantu.
    Dan semenjak aku mengenal Nurul, ada perasaan mungkin Nurul adalah orang yang tepat bagiku. Nurul dalam pandanganku adalah seorang wanita yang selalu berusaha menjaga kehormatan diri, seseorang yang berusaha mematuhi perintah Tuhannya. Seorang wanita yang mau meluangkan waktu untuk memahami Islam dengan lebih baik, dan menjadikan dakwah sebagai salah satu tugas utama.

    Aku ingin memilih Nurul untuk menjadi pendidik bagi anak-anakku kelak. Aku ingin menjadikan Nurul sebagai tempatku berkeluh kesah saat ditimpa kesulitan, menjadi penasehat kala aku kebingungan, menjadi penghiburku ketika bersedih, memberiku semangat ketika motivasi untuk melakukan sesuatu tak kunjung datang, dan menjadi penyejuk pandangan ketika hati ini gundah gulana.
    Mungkin angan-anganku tentang sebuah keluarga terlalu berlebihan. Tapi yang pasti, setiap orang berhak punya cita-cita. Dan tak ada yang mustahil jika kita mau berusaha. Semoga Allah memberiku surga di dunia berupa keluarga yang sakinah.

    Aku tak tahu pasti apakah aku tergesa-gesa ingin menikah ataukah ingin menyegerakannya. Mudah-mudahan aku termasuk orang yang ingin menyegerakan.
    Jika Nurul yakin dan memberiku kepercayaan, insya Allah aku akan menjaga amanah yang diberikan kepadaku. Jika Nurul tidak cukup yakin dan masih ragu-ragu, mungkin kita bisa berta’aruf untuk lebih mengenal. Dan jika Nurul menolak, mungkin kita bisa menjadi sahabat yang baik dengan saling nasihat menasihati. Apapun jawaban Nurul, aku akan berusaha untuk menerimanya dengan lapang dada.
    Seandainya Nurul menerima ajakanku ini, kita bisa segera mempersiapkan diri sejak awal menuju pernikahan. Mungkin akan memakan waktu yang lama. Tapi yakinlah, persiapan yang matang jauh lebih baik daripada ketergesa-gesaan.

Begitulah penggalan surat 5 lembar yang sontak membuatku bingung itu. Reaksi spontanku waktu itu adalah kaget dan terharu berkaca-kaca. "Waduh gimana nih caranya bilang ke ortu.  Baru  18 udah ada yang ngajakin nikah". Akhirnya surat itu kuberitahu ibuku seminggu setelahnya.  Ibuku pun kaget seolah tak percaya sambil setengah meledek anaknya yang masih bau kencur ini.

Tapi proses selanjutnya tidak semulus yang orang kira. Begitu banyak pergolakan batin dan pikiran yang berkecamuk dalam diriku. Yang terutama adalah perbedaan pola pikir (fikroh) antara kami. Aku yang sebenarnya amat pemalu kepada lawan jenis ini, sampai nekat mengorek-ngorek informasi dari orang-orang yang kunilai cukup dekat dengan si dia ini. Mulai dari teman satu asrama, sampai kakak kelas yang sering jadi teman diskusinya. Saking seriusnya, pake surat-suratan segala lagi dengan sang nara sumber.

Karena begitu banyak keragu-raguan, hubungan kami jadi sempat tarik ulur antara iya dan tidak. Sampai akhirnya dia memberi ultimatum tanggal 13 Mei 2000. Kalau aku menjawab tidak, maka dia akan memulai proses dengan seseorang yang lain demi mencapai niat tulusnya untuk menyegerakan pernikahan.

Alhamdulillah, saat itu aku menjawab iya. Dan kusadari kini bahwa itu adalah keputusan yang paling tepat sepanjang hidupku. He’s the best thing ever happenned to me.

Ternyata segala kecemasan, kekhawatiran dan ketakutanku dulu sama sekali tak terbukti. Malah kalau aku flash back lagi sekarang, aku merasa konyol dengan segala paranoia ku yang berlebihan dulu.

He’s everything I can hope for and more…

21 Aug 2007 Just The Two of Us
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 7 Comments

Barusan Mas telfon. Jam 7 an malam gini memang Mas seringkali nelfon kalau belum pulang dari kantor. Entah menanyakan minta dibawakan apa nanti, mengabarkan sedang akan berkemas pulang, atau malah memberitahukan akan pulang agak malam karena banyak urusan.

Tumbennya, malam ini Mas mengajak keluar berdua saja. Tanpa anak-anak. Alfath yang sudah mengerti merengek minta ikut. Menuduh ayah bundanya jahat karena tak mau mengajak anak-anak. Dasar anak-anak. Belum mengerti bahwa orangtua kadang butuh waktu untuk berdua saja. Untuk sekedar ngobrol santai dari hati ke hati, lepas dari rutinitas hidup dan perkawinan yang lama kelamaan tak terasa istimewa karena terlalu biasa. Untuk sekedar melepas lelah sejenak dari kelelahan, mencari sebuah sanctuary untuk berteduh bersama. Untuk saling mendukung dan mengokohkan satu sama lain, agar menjadi orang tua yang kokoh menaungi anak-anak bersama.

Kadang-kadang, suami istri begitu asyik menjadi ayah dan bunda, sehingga lupa bahwa mereka adalah juga sepasang kekasih.

08 Apr 2007 Wed, March 16,2005, 17.37
 |  Category: My Marriage  | Leave a Comment

Seorang teman berulang tahun berdekatan hari. Aku tanya: “Apa hadiah ulang tahunmu dari suami?” Dia jawab: “ Ingat pun dia tidak!” Kasihan. Tapi apa perlu dia dikasihani? Sedang dia pun telah menerimanya sebagai nasib. Lalu aku berpikir tentang kebahagiaan. Apakah dia bahagia bersama suaminya? Apakah agak bahagia? Setengah bahagia? Bahagia? Sangat bahagia? Apakah bahagia bisa diukur? Kebahagiaan adalah masalah rumit. Rumah tangga, apalagi, adalah masalah yang sangat rumit. Bisa saja bahagia di rumah tangga bersama anak, tapi tidak begitu bahagia bersama suami. Tapi bagaimana, suami kan bapaknya anak-anak. Pasti ada kebahagiaan saat dulu berbagi cinta bersama suami menghasilkan anak. Tapi apakah memang kebahagiaan bisa diukur dari penampakan luar? Ketika sepasang kekasih memang pendiam, dan membangun hubungan dalam diam, apakah sebetulnya mereka tidak bahagia, walaupun kelihatannya memang tidak bahagia? Aku dulu punya bayangan bahwa suamiku nanti adalah seorang yang pendiam. Aku sampai seringkali berpikir, bila suami istri bertemu dan berbicara tiap hari, apakah mereka tidak akan kehabisan bahan pembicaraan? Apakah hubungan mereka yang pada awalnya hangat dan menarik berangsur-angsur menjadi begitu kaku, dingin, dan membosankan karena pembicaraan yang hanya ngalor ngidul ke itu-itu saja? Kini aku sudah bersuami. Sudah 4 tahun malah. Ketika aku dulu menceritakan ini pada suami dia tertawa saja, dia malah berujar: “Ade’ dulu membayangkan seperti itu? Kenyataannya gimana? Beruntung kan kau dapat suami yang hangat dan romantis!” Dia benar. Ya, aku memang beruntung!

08 Apr 2007 Friday, March 4,2005, 03.15
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | Leave a Comment

Begitu banyak berkah kasih sayang dalam kehidupanku. Ini kusadari sejak awal sekali pernikahan kami. Ada kehangatan yang menjalari hati saat menyadari bahwa hal pertama yang selalu dia lakukan saat aku membangunkannya di malam hari adalah tersenyum. Bangun dari lelapnya tidur sambil mengejap-ngejapkan mata dan langsung tersenyum. Betapa ringannya dia tersenyum. Duhai Allah, sungguh kurasakan kasih sayang- Mu melalui kasih sayangnya.

Begitu banyak momen yang harus kusyukuri. Begitu ringan pernikahan ini kujalani. Inikah yang disebut pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah? Aku tidak tau. Yang kutau adalah aku selalu merasa tenang bersamanya, selalu merasa dicintai dan disayangi, selalu merasa dirangkul sebagai teman hidup sejati.